Thursday 21 October 2010

Review Jurnal Beyond the Four Theories of The Press: A New Model of National Media Systems


Pengantar
Hampir setiap karya ilmiah yang mengkaji  model perbandingan media massa dan komunikasi politik dimulai dengan penyebutan Siebert, Peterson, dan Schramm (1956) sebagai pencetus Empat Teori Pers yang ditulis sekitar lima puluh tahun yang lalu, tulisan Ostini dan Fung ini juga tidak terkecuali. Tulisan dari Ostini dan Fung terdiri dari dua bagian bertingkat, bahasan pertama menceritakan teori-teori yang sudah ada sebelumnya disertai dengan penjelasan mengenai kelemahan masing-masing teori menurut Ostini dan Fung. Bagian ini juga merupakan kajian mengenai konstruksi dan konsepsi model media, serta percobaan yang telah dilakukan untuk mengembangkan model baru yang mencakup sistem media global. Selanjutnya akan dikemukakan beberapa pemikiran untuk menguji model media ini dengan analisis isi dari berita di beberapa surat kabar multinasional pada peristiwa tertentu.

Teori - Teori Klasik Sistem Media
Sistem pers dunia telah dipetakan sebagai hasil kajian buku Four Theories of The Press oleh Fred S.Siebert, Theodore Peterson dan Wilbur Schramm, yang mengkategorikan teori-teori pers di dunia dalam empat teori pers ((Empat Teori Pers,1986:8). Sebenarnya terdapat pertanyaan mengenai empat teori pers yang klasik itu, apakah empat teori pers itu masih relevan dengan keadaan kekinian? Hal itu yang menjadi banyak perbincangan, perdebatan, diskusi sekarang ini. Hal ini disebabkan oleh tidak kontekstual dan relevannya empat teori pers itu dengan kondisi kekinian.
Berdasarkan penelitian Siebert, Peterson dan Schramm, empat teori pers berasal dari dua subdimensi berdasarkan sistem negara, yaitu otoritarian dan libertarian. Otoritarian merupakan sebuah model dimana media diawasi oleh negara karena daya pengaruhnya dinilai amat kuat. Model komunis-soviet menjadi sebuah aplikasi yang keras dari suatu bentuk dimensi otoritarian dimana media menjadi subordinat dari sistem yang dianut negara. Model tanggungjawab-sosial memiliki pemikiran bahwa media bertanggung jawab secara moral kepada masyarakat sehingga wajib memberikan informasi yang cukup untuk masyarakat agar masyarakat dapat membuat keputusan-keputusan berdasarkan informasi tersebut. Model libertarian menganggap bahwa masyarakat cukup cerdas untuk membedakan mana informasi yang baik dan mana yang tidak diperlukan, sehingga media dalam negara yang menganut model libertarian dibebaskan sebebas-bebasnya.
Pemikiran ketiga pakar tersebut dikritik oleh Ralph Lowenstein pada tahun 1971 dengan mengatakan bahwa teori-teori itu tidak fleksibel dan tidak dapat diaplikasikan pada semua sistem pers (Menil, 1991;16). Dia membagi lagi empat teori pers menjadi lima teori pers dengan menambahkan kategori berdasarkan kepemilikan. Istilah soviet-komunis diganti menjadi sosial-sentralis untuk mengeser nilai-nilai negatif dari istliah aslinya dan juga untuk memperluasnya. Istilah tanggungjawab-sosial diganti menjadi sosial-libertarian untuk merefleksikan akar-akar teori libertarian. Pada tahun 1979 ia merevisi bukunya sehingga sosial-sentralis menjadi sosial-otoritarian untuk memperjelas hubungan antara negara-negara blok timur dengan sistem otoritarian. Kemudian ia menambahkan satu model lagi yaitu sosial-sentralis.
Hatchen (1981) mengajukan lima konsep tipologi dalam bukunya “The World News Prism”. Kelima tipologi itu adalah otoritarian, kebaratan, komunis, revolusioner, dan development atau dunia ketiga. Akhavan-majid dan Wolf (1991) berargumen bahwa  kekurangan yang paling mendasar dari empat teori pers adalah teori tersebut mengabaikan peranan pengaruh ekonomi dalam sistem media. Mereka menyarankan model “Elite Power Group” sebagai tandingan dari model libertarian.
Picard (1985) mengkaji ulang teori-teori media sebelumnya dan menambahkan sebuah teori demokrasi-sosialis. Teori ini memperdebatkan tujuan pers untuk menyediakan kesempatan bagi publik untuk menyampaikan ekspresi sudut pandang mereka, serta menjadi bahan bakar dalam perdebatan politik dan sosial demi keberlangsungan dan perkembangan pemerintah demokrasi. Altschull (1984) dalam second law of journalism-nya, mengatakan “the content of the media always reflect the interest of those who finance them” (McQuail,2000:198). Ia menunjukkan adanya hubungan antara isi media dengan pihak-pihak yang mendanai (funding sources).
Isi media, menurut Altschull, merefleksikan kepentingan lembaga periklanan dan pihak-pihak yang memiliki media serta ideologi dari kelompok yang mendanai, bahkan orang secara individual pun berusaha mempengaruhi isi media dengan mempromosikan pandangan-pandangannya. Dia membagi sistem media dalam 3 kategori yaitu Sistem Pasar, Sistem Marxis (Communitarian) dan Sistem Berkembang.

Kritik Ostini dan Fung Terhadap Teori Klasik
Menurut Ostini dan Fung, masalah yang ada pada model-model sebelumnya adalah mereka berusaha untuk memberi penjelasan bukan menguraikan fenomena sosial dengan menyelidiki dan menggali lebih dalam berdasarkan data-data yang empiris. Siebert, dkk berfokus pada teori normatif berdasarkan struktur tradisional media massa. Picard secara ekslusif hanya memikirkan relasi antara negara dan pers. Jalannya media, laporan jurnalistik, dan keputusan editoria tidak sepenuhnya ditentukan oleh kondisi ekonomi (Williams, 1977), sehingga teori Akhavan-Majid dan Wolf dalam hal ini memiliki kelemahan.     
Dalam tipologi sistem pers yang baru, Ostini dan Fung (2002) menawarkan model baru didasarkan pada otonomi jurnalis profesional.  Pada model ini, jurnalis dikontekstualkan dan dibatasi oleh struktur pers dan kebijakan negara, tetapi berusaha untuk menunjukkan profesionalisme sebagai jurnalis dalam pengawasan negara.  Berdasakan interaksi sistem negara  dan nilai-niai profesional jurnalistik, tipologi digolongkan menjadi empat yaitu demokratis-konservatif, demokratis-liberal, konservatif-otoriter  dan otoriter-liberal.

Sebuah Model Baru
Model ini menambahkan dua karakteristik jurnalis dalam menentukan sistem media sebuah negara, selain sistem politik negara tersebut. Karakteristik jurnalis tersebut adalah konservatif dan liberal. Konservatif dijelaskan sebagai jurnalis yang menentang laju perubahan, penolakan akan perbedaan yang terlalu jauh, dan mendukung status quo masyarakat. Liberalisme digambarkan sebagai jurnalis yang mendukung perubahan sosial dan reformasi, individualisme, kompetisi, dan kebebasan berbicara (McQuail, 1994).
Sistem media demokratis-konservatif adalah sistem media dimana sistem politik yang dianut adalah demokrasi sementara nilai yang dianut oleh jurnalis adalah konservatif. Demokratis-liberal merupakan sistem media yang didukung oleh sistem politik demokratis serta nilai liberal yang dianut jurnalis. Sistem otoritarian-konservatif yaitu negara memiliki kontrol atas isi media dan nilai yang dianut jurnalis mendukung adanya batasan aturan tersebut. Ketika negara menganut sistem otoritarian, sedangkan jurnalis menganut paham liberal inilah yang disebut dengan otoritarian-liberal.

Studi Kasus
Studi kasus mengambil 4 negara sebagai contoh yaitu Hongkong, Jepang, Cina dan US, metodenya adalah dengan melakukan analisis wacana disurat kabar keempat negara tersebut dengan periode analisis 1 September - 30 September 1996.  Sampelnya adalah 7 surat kabar di Hongkong (South China Morning Post, Oriental Daily, Ming Pao, Ta Kung Pao, Apple Daily, dan Hongkong Economic Journal), 2 surat kabar Jepang (Asahi Evening News dan Japan Times), 1 surat kabar Cina (China Daily), 5 surat kabar US (NY Times, Wall Street Journal, The Minneapolis, The Associated Press, dan The Financial Times-Scripps Howard News Service.
Pola persandian dibuat untuk menentukan sikap umum (kecenderungan) dari artikel; tema artikel; pertimbangan artikel pada isu terkait; siapa yang dipertimbangkan sebagai aktor utama; tingkat keterlibatan aktor (internasional, pemerintah, individual, dst); dan solusi. Kasus yang diangkat adalah perdebatan Jepang dan Cina dalam sengketa kepemilikan pulau Diaoyu atau Senkaku yang terletak di sebelah timur laut Cina. Perdebatan ini memicu reaksi dari masyarakat sipil di Taiwan, Jepang, Cina dan Hongkong. Adanya sengketa antar negara melibatkan maslah militerisme dan nasionalisme yang diharapkan dapat menunjukkan pandangan yang dianut oleh jurnalis pada masing-masing negara. Dengan model yang sebelumnya hasil analisa sistem media adalah sebagai berikut:

Dengan menggunakan model Ostini&Fung, dan dengan disertai analisis wacana, hasilnya sebagai berikut:

Jepang merupakan negara dengan sistem politik demokratis dan nilai yang dianut jurnalis adalah konservatif, sehingga termasuk dalam negara dengan sistem media demokratis-konservatif. Cina sangat jelas sistem politiknya adalah otoritarian, dengan pandangan jurnalisme konservatif (otoritarian-konservatif). Jurnalis Hongkong dan US menganut paham atau pandangan yang sama yaitu liberal, sementara perbedaannya terletak pada sistem politik masing-masing negara. Hongkong adalah otoritarian-liberal, sedangkan US demokratis –liberal.

Opini Peninjau Jurnal
J. Ostini dan A. Fung menunjuk pada idealisme dan overestimasi dari peran ekonomi politik dalam "Empat Teori Pers", mereka mengusulkan untuk "Menggunakan model untuk menggabungkan nilai-nilai jurnalistik dan sistem negara(...). Model baru ini menggabungkan dimensi otonomi individu jurnalistik dan struktur kebijakan negara. Dengan demikian meningkatkan pemahaman tentang sistem pers  dan masyarakat di mana sistem ini ada ". (hlm 54-55)
Ostini dan Fung mencoba menjembatani faktor struktural dan profesional media dengan memasukkan konstruksi realitas individu jurnalis sendiri. Para teoretikus mengkritik satu sama lain berbagai kelemahan teori mereka. Ostini dan Fung merangkum semua masalah teori secara makro, memberi penjelasan bukan menggambarkan, dengan asumsi pers berevolusi secara natur, dan hanya mengakui kebenaran tunggal (Ostini & Fung, 2002, hal.6). Model Ostini dan Fung sendiri mengabaikan lingkungan new media, dengan melakukan analisis wacana pada surat kabar saja. Namun, model Ostoni dan Fung tidak memiliki pembenaran teoritis untuk penempatan nilai-nilai profesional individu dan keyakinan sebagai faktor independen dari unit media dan struktur politik.Terakhir, Ostini-Fung mengabaikan nilai mikro seperti nilai historis, sebagai contoh Hongkong merupakan persemakmuran Ingrris selama 150 tahun. Inggris menganut paham liberal (ingat paparazzi Inggris!), sehingga meskipun Hongkong menganut sistem politik Otoritarian, tidak bisa diabaikan bahwa paham libertarian dari Inggris ikut mempengaruhi pers, jurnalis dan sistem media yang berlaku di negara tersebut.



Simak
Baca secara fonetik



Simak
Baca secara fonetik