Thursday 30 September 2010

Kartini vs Erin Brockovich ; Feminisme dalam Film




Perempuan itu duduk di sebuah ruangan, ia berpakaian kebaya dengan rambut disanggul tinggi. Di tangannya terdapat pena yang terus menerus menggores lembar-lembar kertas berwarna kekuningan. Meskipun ruangan itu hanya diterangi oleh lampu teplok (lampu minyak), perempuan itu tampak asyik dan tak mempermasalahkan segala keterbatasan yang dia rasakan. Surat yang ia tulis ditujukan kepada sahabatnya Rosa yang bermukim di Belanda. Ide dan pemikirannya ia uangkapkan dalam tulisannya kepada sahabatnya tersebut. Dari balik meja dan kursi itulah namanya dikenal orang, kondisi dan situasi sosial pada masa itu tidak memungkinkannya untuk berkoar-koar memperjuangkan nasib kaumnya. Lewat suratnya ia menyerukan suara hatinya dan keprihatinannya terhadap feodalisme yang ia alami saat itu. Perempuan itu bernama Kartini, simbol atau ikon emansipasi wanita di Indonesia.
Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit. Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.
Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka. Dengan cara itulah Kartini berusaha mencerdaskan kaum wanita pada jamannya dan mengikuti gerakan feminisme lain di Indonesia seperti perjuangan Cut Nyak Dien dan saat Laksamana Malahayati memimpin 2.000 pasukan Inong Balee mengacaukan barisan Frederic Houtman pada 1599 di pesisir Banda Aceh.
Kisah Kartini kemudian di-filmkan dengan judul RA Kartini pada tahun 1984 dengan sutradara Syuman Djaya dan dibintangi oleh Yenni Rachman. Film ini mengisahkan tentang perjuangan R.A. Kartini dalam memperjuangkan hak kaum wanita Indonesia yang pada saat itu masih belum disetarakan dengan hak-hak kaum pria dalam hal mendapatkan pendidikan dan sebagainya (emansipasi wanita). Film ini diterbitkan berdasarkan isi dari buku 'Biografi Kartini' yang ditulis oleh (alm.) Sitisoemandari Soeroto.
Kartini dalam film ini berkarakter cukup keras meskipun akhirnya ia harus mengalah dengan adat istiadat dan budaya Jawa dalam hal pernikahan. Ia santun, penuh rasa ingin tahu, mandiri, dan memiliki kemampuan kepemimpinan yang baik. Meskipun terbentur adat istiadat dan budaya, ia tetap memperjuangkan baca tulis bagi kaum wanita yang dianggapnya simbol intelegensi sebagai seorang manusia.
Seorang perempuan yang lain berpeluh di tengah teriknya matahari. Dengan pakaian yang minim, tepatnya dengan menggunakan tank top dan rok mini, ia berkeliling di sebuah pemukiman bernama Hinkley, kota kecil yang terletak di California, Amerika Serikat. Perempuan itu adalah Erin Brockovich, seorang janda seorang janda tiga anak yang berhasil membongkar kasus pencemaran lingkungan di Hinkley.  Ia membawa warga di sana menggugat Pasific Gas & Electric Company, perusahaan raksasa beraset milyaran dolar yang mencemari air tanah Hinkley, California selama bertahun-tahun. Erin adalah salah satu simbol feminisme di dunia barat, kisahnya diangkat dalam sebuah film berjudul seperti namanya Erin Brockovich.
Erin Brokovich yang telah melewati perceraian untuk keduakalinya harus bertahan hidup dengan tiga anak tanpa pekerjaan dan penghasilan. Kisah menakjubkan Erin Brockovich seolah bermula dari ketidaksengajaan. Erin menemukan bahwa air tanah di Hinkley, California telah tercemar hexavalent chromium (Cr 6), limbah industri beracun yang mengancam penduduk Hinkley. Kandungan Cr 6 di air tanah di Hinkley mencapai 20-25 ppm, atau 400 kali dari standar aman. Warga di sana mengkonsumsi air beracun, sekaligus menghirup udara yang ikut tercemar racun pula. Pencemaran Cr 6 tersebut dapat berakibat sangat fatal, dapat meyebabkan penyakit-penyakit berbahaya, termasuk kanker, dan sangat mungkin menyebabkan kematian.
Setelah proses hukum panjang selama dua tahun, akhirnya tuntutan dana kompensasi sebesar 333 juta Dollar AS bagi warga dipenuhi. Pasific Gas & Electric Company juga dibebani tuntutan untuk membersihkan lingkungan yang tercemar dan menghentikan pencemaran Cr 6 dalam operasinya. Gugatan Erin tercatat sebagai salah satu gugatan hukum terbesar dalam sejarah Amerika. Kisahnya kemudian memberi inspirasi bagi pengungkapan kasus-kasus serupa. Erin saat ini menjabat sebagai direktur riset firma hukum Masry & Vititoe di Beverly Hills.
Erin Brockovich yang dimainkan oleh Julia Roberts ini berkarakter kuat, selalu bertindak berdasarkan intuisi dan keyakinannya, pantang menyerah, berani menghadapi resiko, keras, pintar bergaul, cepat memahami suatu permasalahan, jiwa sosialnya tinggi, dan selalu mengeluarkan sikap dan tindakan yang sesuai dengan nuraninya saat itu. Meski cenderung brutal (ucapannya kadang tidak sopan, pakaiannya seksi. Kesan feminisme hadir dengan karakternya yang sangat kuat (bayangkan bekerja dengan memiliki 3 orang anak),  cerdas (keberhasilannya mengungkap kasus pencemaran selama bertahun-tahun telah membuktikan kecerdasannya), dan bebas dalam artian ia adalah seorang single parent yang tidak terikat pada suami meskipun dia memiliki seorang kekasih yang mendukung pekerjaannya.
Media perfileman menggambarkan sosok Kartini dan Erin Brockovich dalam kemasan yang berbeda. Kartini dengan setting budaya Jawa jaman feodal tentu saja tidak mungkin menggunakan busana seksi seperti Erin Brockovich yang hidup di kebebasan dunia barat. Satu hal yang sama adalah keduanya mengusung tema feminisme dimana sosok perempuan digambarkan sebagai manusia yang tegar, kuat hati, mandiri, dan cerdas. Keduanya berjuang utnuk sesuatu yang mereka yakini benar, keduanya punya idealism, keduanya punya tujuan hidup yang berkaitan dengan hati nurani. 
21 April 2010, dalam rangka memperingati Hari Kartini, Pro TV bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Jepara membuat film dokudrama berjudul Wanita Terpilih. Kartini yang ditampilkan tetap sama, dengan busana kebaya ala tahun 1900, meskipun tahun pembuatan film sudah berbeda jauh. Apa yang menyebabkan sosok Kartini yang dijual media tetap sama seperti bertahun-tahun yang lalu? Film Erin Brockovich saja berbeda dengan aslinya, Erin Brockovich asli pernah berkomentar mengenai pakaian Erin Brockovich dalam film yang dianggap terlalu seksi. Bagaimana dengan Kartini, mengapa media tidak berusaha mengemasnya dengan tampilan berbeda? Misalnya tidak usah terlalu ekstrem, mungkin bisa dengan Kartini yang memakai celana jeans, saya pribadi membayangkannya saja sudah tidak mampu. Buku teks pelajaran serta film-film tentang Kartini yang telah saya tonton tidak mengijinkan pemikiran saya melayang sampai ke Kartini dengan celana jeans. Lucu juga ternyata bagaimana proses sebuah film dan gambar bisa mempengaruhi manusia. Apakah memang ada larangan membuat sosok Kartini bercelana jeans atau memakai rok mini? Saya kurang tahu mengenai hal itu.
Memang ada campur tangan pemerintah orde baru dalam pembentukan image seorang Kartini yang masih terpelihara sampai saat ini. Contoh sederhana saja, setiap tanggal 21 April pada jaman orde baru pasti diputar film Kartini karya Sjuman Djaya tersebut, maka mau tak mau sosok Kartini itu melekat kuat dalam ingatan saya, sebagai anak produk orde baru. Mungkin 10 tahun lagi sosok Kartini dalam visualisasinya dapat berubah dengan kreativitas anak jaman sekarang, mungkin 10 tahun lagi kita bisa menyaksikan Kartini dengan rok mini atau mungkin bahkan mengenakan bikin.
   


No comments:

Post a Comment