Wednesday 29 September 2010

Keperawanan : Kenapa Harus Dipertanyakan?

Perawan dalam bahasa Inggris disebut  virgin, kata virgin diturunkan dari kata virgo dalam bahasa latin yang berarti perempuan yang belum pernah mengalami hubungan seksual.  Secara etimologi dalam bahasa latin kata virgin berasal dari kata ‘vir’ (laki-laki) dan ‘gin’ (perangkap), sehingga virgin dapat diartikan sebagai ‘perangkap laki-laki’. Salah satu yang membuat ‘virgin’ menjadi populer adalah kisah tentang ‘virgin marie’ atau ‘perawan maria’ yang mengandung tanpa adanya pembuahan yang berasal dari hubungan seksual antara pria dan wanita.

Kondisi keperawanan seorang wanita sangat berkaitan dengan suatu bagian dari organ intim wanita yang disebut Hymen atau bahasa populernya Selaput Dara. Hymen adalah membran tipis yang sebenarnya secara biologis tidak berfungsi namun mempunyai beban kultural dan psikologis yang sangat berat bagi wanita. Letaknya kira2 1/3 bagian luar dari vagina atau kira-kira 2-3 cm dari lubang vagina. Hymen sebenarnya terbentuk akibat pertemuan antara 2 saluran yaitu ductus mulleri dan ductus urogenitalis sewaktu perempuan masih berupa janin. Menurut medis, kehilangan keperawanan adalah kondisi ketika Hymen rusak atau robek karena hubungan seksual atau aktifitas yang memicu robeknya Hymen seperti jatuh dari sepeda dan aktifitas bela diri.

Sebuah cerita menarik lain tentang virginitas yaitu pada tahun 2009 lalu seorang mahasiswi dari Amerika Serikat yang mempelajari studi tentang wanita bernama Natalie Dylan memutuskan untuk melelang keperawannya di internet dan memberikannya kepada penawar tertinggi. Reaksi media saat itu begitu heboh dan menilai perbuatan Dylan sebagai contoh yang buruk bagi masyarakat, serta mengatakan apa yang Dylan lakukan sebagai sebuah tindakan perubahan dari seorang gadis baik-baik menjadi seseorang yang kehilangan nilai kesucian dan kemurnian. Media tidak mencoba menggali lebih dalam alasan sebenarnya Dylan menjual keperawanannya. Dylan melelang keperawanannya sebagai bahan studi thesisnya tentang seberapa besar nilai keperawanan bagi masyarakat Amerika.

Sebenarnya bagaimana masyarakat memaknai nilai sebuah keperawanan?
Keributan terjadi pada masyarakat yang sudah modern seperti Amerika ketika seorang wanita berniat melelang keperawanannya, padahal aksi wanita ini adalah aksi feminist yang ingin mengetahui seberapa besar nilai keperawanan bagi masyarakat Amerika. Sebagai hasilnya penawaran tertinggi mencapai nilai 3.7 juta  USD. Nilai yang sangat tinggi bagi seorang perawan (*yang populer) di Amerika Serikat, bandingkan dengan Indonesia yang nilai keperawanannya rata-rata kurang dari 10 juta rupiah.
Berbicara mengenai keperawanan tidak dapat lepas dari suatu nilai yang dianut oleh masyarakat, khususnya masyarakat patriarki. Patriarki yaitu dimana semua kekuasaan dalam masyarakat dikontrol oleh laki-laki (Oxford Advance Learner Dictionary). Menurut Madsen pekerjaan perempuan hanya pada wilayah domestik, mengurus suami, menjadi ibu dengan mengurus anak-anaknya. Peran-peran domestik tersebut dilekatkan pada sosok perempuan oleh masyarakat yang menganut sistem patriarki (2000: 2). Konsep patriarki sangat kental dianut oleh masyarakat Indonesia.

Mengenai ‘kesucian’ seorang manusia, sebenarnya nilai keperawanan dan keperjakaan itu setara, tetapi kenapa keperawanan begitu dipermasalahkan sementara keperjakaan tidak menjadi masalah besar? Kenapa kaum laki-laki jika kehilangan keperjakaan tidak dipersoalkan, dan kenapa kehilangan keperawanan dipersoalkan? Sekali lagi hal itu tidak apat lepas dari budaya, budaya kita yang masih terpaku pada kekuatan laki-laki sebagai pusatnya, sehingga perempuan dianggap sebagai kelompok kelas dua yang ‘tergencet’ secara sosial maupun kebudayaan. Bila laki-laki menuntut keperawanan istrinya, sedang dia sendiri sudah tidak perjaka, betapa tidak beruntungnya menjadi perempuan. Perempuan pun sebenarnya juga berhak menuntut hal yang sama kepada pasangan hidupnya.

Ada sebuah sastra bagus mengenai perempuan dan konsep keperawanan yaitu novel Saman karya Ayu Utami. Tokoh utamanya adalah Cok, seorang perempuan muda yang secara radikal tak henti-hentinya mempertanyakan keperempuanannya. Bahkan pertanyaan-pertanyaannya tentang keperempuanannya menjadi semacam pemberontakan dan perlawanan terhadap takdirnya yang terlahir sebagai perempuan. Cok menggugat dominasi patriarki dalam kehidupan perempuan, khususnya dalam seksualitas. Bagi Cok, realitas seksual yang lebih menguntungkan eksistensi lelaki merupakan representasi nyata dominasi patriarki dalam kehidupan sehari-hari. Dengan tajam bahkan ekstrim, ia mempertanyakan tentang virginitas atau keperawanan seorang perempuan. Bagi Cok, keperawanan justru merupakan belenggu bagi perempuan. Lewat keperawananlah, kaum patriarki justru mempunyai peluang untuk ‘menguasai’ perempuan.

            Belakangan terlontar suatu pemikiran dari seorang politisi Partai Amanat Nasional (PAN) yang duduk di Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)  Provinsi Jambi bernama Bambang Bayu Suseno yaitu mengenai tes kegadisan atau keperawanan bagi siswi sekolah. Menurutnya, konsep ini lahir dari keprihatinan terhadap pergaulan bebas. Pergaulan yang luar biasa bebas di kota-kota besar. “Ada fenomena longgarnya pengawasan orang tua. Kemudian pendidikan agama minim. Wacana ini kami gulirkan berangkat dari kegelisahan itu” (Bambang Bayu Suseno,Vivanews, 29 Sept’10).

Berbagai reaksi keras bermunculan dari masyarakat terutama kaum wanita. Keperawanan sifatnya sangat personal dan bukan isu moralitas. Jika ingin bicara moralitas, yang perlu dipersoalkan adalah moralitas publik yang menyangkut kepentingan masyarakat. Korupsi contoh paling nyatanya. "Keperawanan seharusnya tidak boleh menjadi isu, apalagi dikaitkan moralitas dan politisasi tubuh perempuan," papar Neng Dara Affiah, Komisioner Komnas Perempuan sebagai respon wacana tes keperawanan yang berkembang di DPRD Jambi. Persoalan keperawanan yang masih saja dibincangkan, bahkan menjadi isu, adalah cermin masyarakat yang konservatif dan berwajah patriarki, jelasnya.

Wacana tes kegadisan atau tes keperawanan yang bergulir belakangan sarat akan muatan politisasi tubuh perempuan. Sungguh mengherankan mengapa harus perempuan, karena sebenarnya tes semacam ini hanya akan memunculkan trauma dari sisi psikologis perempuan. Sangat tidak manusiawi ketika moralitas seseorang dinilai dari perawan dan tidaknya dia, meski kita hidup di budaya patriarki sekalipun hal semacam ini dapat dikatakan sebagai pelanggaran HAM.

No comments:

Post a Comment