Thursday 30 September 2010

Reception Analysis: Mass Communication as Social Production of Meaning Studi kasus: Iklan Kecap Sedaap





Sebuah Pengantar: Antara Kabut Asap, Makan Siang dan Iklan Kecap
Seharusnya tadi pagi pukul 10.00 saya sudah terbang meninggalkan Sampit menuju Yogyakarta, tapi saya harus gigit jari ketika operator mengumumkan pembatalan semua penerbangan pada hari ini dengan alasan cuaca tidak memungkinkan. Penerbangan hari ini adalah penerbangan ke-10 yang dibatalkan dalam satu minggu terakhir, dan saya tahu pasti bukan cuaca penyebab batalnya semua penerbangan, melainkan karena pekatnya kabut asap yang belakangan ini menyerang beberapa daerah di pulau Kalimantan.
Saya tidak sepenuhnya menyesali keberadaan saya di sini yang harus diperpanjang. Selain makan enak (dan gratis!), saya berkesempatan melihat debat kusir antara ibu dan adik bungsu saya. Topik perdebatannya tentu saja sepele, masalah lauk makan siang hari ini. Adik saya bersikeras tidak mau makan sayur dan lauk yang sudah disediakan oleh ibu, sebaliknya ibu memaksa adik untuk menghabiskan makan siangnya. Sewaktu ibu sibuk menerangkan tentang 4 sehat 5 sempurna, tiba-tiba adik saya menyahut
“Di tivi ada kok anak kecil yang makan nasi kerupuk, ibunya nggak marah…aku kok dimarahin?”
Ibu saya langsung tersenyum masam, kemudian melanjutkan cerita 4 sehat 5 sempurna sambil berusaha menjelaskan pada adik saya bahwa nasi krupuk cuma untuk iklan saja. Dalam hati, saya mengingat-ingat iklan apa gerangan nasi-krupuk itu. Setelah beberapa menit saya baru ingat, ternyata yang dimaksud adik saya adalah iklan sebuah kecap yang namanya sama dengan produk mie instannya. Saat itu saya langsung bersyukur ”Ini dia bahan tulisan saya”.
Tulisan ini adalah mengenai Media Audience, tepatnya bahasan mengenai Reception Analysis: mass communication as social production of meaning. Studi kasus yang dipakai adalah iklan kecap merk Sedaap. Sebagai pembuka, penulis telah mengemukakan konflik sosial ringan yang terjadi karena persoalan menonton iklan di televisi. Selanjutnya, tulisan ini akan dibagi menjadi tiga sub-pokok bahasan.
Bahasan yang pertama yaitu pengenalan akan iklan itu sendiri, sejarah atau latar belakang periklanan di luar negri maupun dalam negri, serta perkembangan industri periklanan di Indonesia. Iklan sebagai komunikasi bisnis menjadi fokus penulisan pada sub bahasan yang kedua. Bahasan yang terakhir adalah tentang analisis penerimaan (reception analysis), serta pengaruh iklan berkaitan dengan studi kasus ini. Terakhir, sebagai penutup penulis menyertakan tanggapan dari beberapa orang yang diperoleh dari situs di internet terkait dengan iklan kecap Sedaap ini,





Iklan: Riwayatmu Dulu dan Sekarang

Advertentie poenja kaperloean soeda kentara, kerna Advertentie perloenja boeat perkenalken barang-barang dagangan kita pada publiek. Kaloe barang jang kita dagangken tidak dikenal, bagaimana bisa dapatken pembeli?
Liem Kha Tong

Pernyataan itu secara jelas sudah menjelaskan esensi dari pembuatan sebuah iklan, yaitu untuk mempromosikan suatu barang atau jasa tentunya. Promosi melalui iklan telah dipraktekan oleh umat manusia sejak jaman dahulu kala, ketika alat transportasi masih berupa gerobak sapi. Pada tahun 1930-an, banyak poster dan papan reklame ditempel pada panel samping gerobak sapi yang hilir mudik mengangkut barang. Papan reklame tersebut masih berupa selembar pelat seng atau logam yang cukup tebal.
Setelah tahun 1948 sebuah bahan bernama scotchlite ditemukan, sejak itu banyak papan reklame yang menggunakan bahan ini karena mampu memantulkan cahaya dengan efek yang mengaggumkan. Produk yang paling sering diiklankan saat itu adalah ban sepeda dari Goodyear dan Michelin, produk sabun dan tapal gigi dari Unilever, limun(soda pop) merek regional, dan produk rokok dari berbagai produsen.
Media iklan lain yang mampu menggantikan gerobak sapi adalah surat kabar. Media ini populer di Indonesia sejak abad ke-19. Harus diakui, bahwa tokoh periklanan pertama di Indonesia adalah Jan Pieterzoon Coen, orang Belanda yang menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tahun 1619-1629. Tokoh ini bukan hanya bertindak sebagai pemrakarsa iklan pertama di Indonesia, tetapi juga sebagai pengiklan dan perusahaan periklanan. Bahkan dia pun menjadi penerbit dari Bataviasche Nouvelle, surat kabar pertama di Indonesia yang terbit tahun 1744, satu abad setelah J.P. Coen meninggal.
Iklan pertama yang diprakarsainya berupa pengumuman-pengumuman pemerintah Hindia Belanda berkaitan dengan perpindahan pejabat terasnya di beberapa wilayah. Namun dengan penerbitan surat kabar pertama yang memuat iklan itu, Jan Pieterzoon Coen membuktikan, bahwa pada hakekatnya untuk produk-produk baru, antara berita dan iklan tidak ada bedanya. Atau, bahwa berita pun dapat disampaikan dengan metode dan teknik periklanan. Kenyataan itu membuktikan pula, bahwa iklan dan penerbitan pers di Indonesia, sebenarnya lahir tepat bersamaan waktunya, dan keduanya saling membutuhkan atau memiliki saling ketergantungan.
Saat itu penerbitan surat kabar hanya boleh dimiliki oleh orang eropa saja. Antara tahun 1868-1912, di Batavia saja, orang-orang Eropa ini telah memiliki 14 penerbitan pers. Di luar Batavia, tercatat 6 surat kabar yang terbit di Surabaya dan 1 di Jawa Tengah. F. Van Bemmel, Is. Van Mens dan Cor van Deutekom adalah praktisi periklanan yang didatangkan oleh Hindia Belanda. Mereka didatangkan atas biaya BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij) dan General Motors yang perlu mempromosikan produk-produk mereka. Ketiga orang ini bergabung dalam Aneta, perusahaan periklanan terbesar saat itu.
Pada tahun 1901 salah satu dari anggota tiga-serangkai ini, Bemmel, diminta oleh redaktur surat kabar De Locomotief untuk mengelola perusahaan periklanan milik suratkabar tersebut, yang juga bernama De Locomotief. Tahun 1902, hanya satu tahun sejak kedatangannya ke Batavia, Bemmel mendirikan perusahaan periklanan sendiri. Perusahaan periklanan bernama NV Overzeesche Handelsvereeniging, khusus menangani produk-produk impor, seperti mobil dan sepeda. Pada tahun 1910 Bemmel kembali ke negeri Belanda. Tidak diketahui alasan kepindahannya itu, namun di negeri Belanda ia kemudian berganti profesi. Uang yang dihimpunnya selama memiliki perusahaan periklanan di Hindia Belanda rupanya cukup untuk mendirikan sebuah bank[1].
Menjelang akhir abad ke-19 perusahaan-perusahaan periklanan yang dimiliki dan dikelola oleh Cina keturunan mulai bermunculan. Resesi ekonomi yang melanda dunia tahun 1890 rupanya berdampak sangat buruk bagi dunia usaha. Termasuk banyak percetakan pers milik orang-orang Belanda. Peluang inilah yang ternyata mampu dimanfaatkan oleh kelompok Cina keturunan. Pelopor periklanan dari kelompok ini adalah Yap Goan Ho, yang memiliki perusahaan periklanan sendiri di Batavia. Yap Goan Ho sebelumnya adalah seorang copywriter di perusahaan periklanan De Locomotief. Perusahaan periklanannya diberi nama Yap Goan Ho, mulanya dikontrak olah suratkabar berbahasa Melayu, Sinar Terang (terbit 1888-1891). Perusahaan periklanan ini hanya bertahan tiga tahun, akibat bangkrutnya suratkabar Sinar Terang.
Orang pribumi yang memiliki percetakan dan suratkabar, baru pada tahun 1906 dengan munculnya NV Medan Prijaji. Tiras suratkabar yang dipimpin oleh RM Tirto Adisoerjo ini utamanya beredar di Batavia, Bogor dan Bandung. Suratkabar ini sebenarnya punya misi politik, karena banyak memuat berita-berita tentang kebobrokan sistem kolonial. Dia sekaligus memberi juga perlindungan hukum bagi kaum pribumi. Namun untuk menjaga kelangsungan hidupnya, ia memerlukan juga perusahaan periklanan. Orang yang mengelola perusahaan periklanan Medan Prijaji adalah Raden Goenawan. Ia adalah lulusan HIS (Holland Inlandsche School), Batavia, menjadi teman dekat Tirto Adisoerjo sejak di sekolah itu. Selain dalam jabatan tersebut, Adisoerjo dan Raden Goenawan juga merangkap bersama-sama menangani bidang percetakan Medan Prijaji. Suratkabar ini mereka beri nama kecil Surat Kabar Minggoean dan Advertentie.
Tokoh-tokoh lain yang merintis periklanan di Indonesia yaitu Tjokroamidjojo dari Sarekat Dagang Islam yang menerbitkan Sinar Djawa, M.Sastrositojo dari Medan Moeslimin, Abdoel Moeis dari Neratja, Lim Kha Tong dari Ming, Joedoprajitno dari Jupiter, Hendromartono dari Mardi Hoetomo, dan S.Soemodihardjo dari Economic Blad. Reklame melalui surat kabar pada saat itu tidak membuat sukses penerbitan surat kabar karena harga iklan yang relatif murah.
Media iklan berikut yang menjadi sambung-suara antara perusahaan dan konsumen adalah radio. Sejak radio commercial pertama dikumandangkan oleh stasiun WEAF di New York City pada 28 Agustus 1922, radio menjadi sarana potensial untuk beriklan. Tercatat setelah peristiwa itu, sebuah perusahaan real estate di Quensboro membayar 50 USD untuk penyiaran pesan komersial selama 5 hari.
Iklan televisi memiliki kelebihan lewat efek sudio visualnya. Dan ini berdampak pula pada proses penangkapan pesan dan pengambilan keputusan konsumen ( penonton televisi ). Iklan melalui televisi bisa benar-benar komersil, sekadar informasi atau bahkan digunakan untuk kepentingan politik. Iklan televisi, pertama kali ada 1 Juli 1941 di Amerika Serikat saat Bulova Watch Company membayar 9$ kepada New York City NBC, untuk memutarkan spot produk mereka selama 20 detik, sebelum penayangan pertandingan baseball antara Brooklyn Dodgers dan Philadelphia Phillies.
Kemunculan iklan pertama tersebut terus disusul iklan-iklan lainnya, dan akhirnya melebar ke semua belahan penjuru dunia. Iklan televisi juga lebih variatif. Saat ini, iklan televisi bisa murni iklan komersial, politik, sponsorsip, atau bahkan promo acara/program televisi. Baik dari tujuan, jenis maupun penampilannya sesuai dengan kemajuan teknologi animasi, grafis dan sound effect. Tarifnya pun terus melejit. Jika tahun 1941 untuk 20 detik hanya 9$, saat ini untuk durasi yang sama bisa mencapai puluhan juta rupiah.
Beriklan melalui televisi di Indonesia diawali oleh sebuah program bertajuk “Manasuka Siaran Niaga” yang ditayangkan di stasiun televisi nasional Indonesia yaitu TVRI. Hadirnya media iklan televisi melangkapi pertumbuhan periklanan di Indonesia saat itu. Pada tahun 1970-an media di Indonesia mengalami pertumbuhan yang pesat, yang berefek pada pertumbuhan advertising billing atau lebih dikenal sebagai kue iklan. Sebuah laporan pada majalah Tempo menyebutkan pada tahun 1972 kue iklan Indonesia mencapai 4 miliar. Dua tahun kemudian kue iklan mencapai angka 16 miliar, saat itu nilai 1 USD masih Rp.450,-.
Pada tahun 1981,penayangan  “Manasuka Siaran Niaga” dihentikan. Tahun 1987, melalui SK Menteri Penerangan RI No.190°/KEP/MENPEN/1987 memberi ijin kepada swasta untuk menyelenggarakan siaran saluran terbatas(SST). Tak lama setelah itu, RCTI muncul sebagai stasiun TV swasta pertama di Indonesia. Saat itu RCTI tidak dapat beroperasi secara bebas, iklan masih dilarang penayangannya di televisi. Tiga tahun kemudian barulah ijin untuk beriklan melalui televisi dikeluarkan melalui SK Menteri Penerangan. Sejak saat itu, televisi swasta di Indonesia mulai bertambah sampai saat ini. 



Tabel Belanja Iklan Indonesia 1983-2006
(Rp milliar)

Medium
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
Televisi
-
-
-
-
-
-
29
51
212
390
613
1,062
Surat Kabar
86
83
117
110
137
163
243
320
360
377
484
743
Majalah
40
36
47
47
55
60
72
94
91
95
108
155
Tabloid
na
na
na
na
na
na
na
na
na
na
na
na
Radio
30
14
19
23
32
38
73
105
105
100
113
139
Bioskop
4
4
4
5
5
6
7
8
9
10
10
11
Luar Ruang
16
43
28
41
41
47
57
61
58
55
53
176
Jumlah
176
180
215
226
270
314
481
639
835
1,027
1,381
2,286
Pertumbuhan

2.3%
19.4%
5.1%
19.5%
16.3%
53.2%
32.8%
30.7%
23.0%
34.5%
65.5%

Medium
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Televisi
1,638
2,203
2,678
2,213
3,449
4,933
6,057
8,383
11,66
15,469
17,756
20,419
Surat Kabar
1,075
1,202
1540
956
1,415
1,982
2,593
3,502
5,325
7,226
7,498
8,998
Majalah
211
270
235
133
194
308
422
521
682
848
890
917
Tabloid
na
na
76
58
98
140
192
246
310
350
398
410
Radio
170
189
206
136
187
257
329
413
491
612
537
518
Bioskop
11
10
9
na
na
na
na
na
na
na
na
na
Luar Ruang
230
266
350
261
269
269
202
232
625
725
834
920
Jumlah
3,335
4,14
5,094
3,757
5,612
7,889
9,795
13,297
19,093
25,23
27,913
32,182
Pertumbuhan
45.9%
24.1%
23.0%
26.2%
49.4%
40.6%
24.2%
35.8%
43.6%
32.1%
10.6%
15.3%

Sumber : PPPI, Media Scene, Matari Info Center (Rumah Iklan, Bondan Winarno, p.207)

Iklan televisi menurut Sutedjo Hadiwasito (1996) dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori pesan visual yang disampaikan yaitu:
-          Fakta (langsung tanpa embel-embel, fakta yang dibumbui atau didramatisir).
-          Perbandingan (perbandingan langsung dua produk yang saling bersaing di pasar).
-          Kisah hidup (memperlihatkan kaitan produk dengan pemakai dalam keadaan normal).
-          Gaya hidup (lebih menitik beratkan pada gaya hidup seorang atau lebih merupakan pemakai dari produk tersebut).
-          Fantasi (khayalan tentang produk yang bersangkutan atau penggunaannya).
-          Still life (menggambarkan produk-produk dalam keadaan diam, namun dibuatnya menarik dengan permainan kamera).
-          Demontrasi (demonstrasi penggunaan produk).
-          Metafor (meminjamkan benda lain sebagai simbol atau gambaran yang terdekat dengan suatu produk).
-          Image (menggambarkan suasana hati atau sebuah citra).
-          Musikal (menyajikan satu orang atau lebih yang menyanyikan sebuah lagu yang berkaitan dengan sebuah produk).
-          Karakter (menciptakan simbol atau karakter yang melambangkan sifat sebuah produk).
-          Drama (dramatisasi dari kegunaan atau manfaat sebuah produk).
-          Reportase (menampilkan seseorang yang mewakili perusahaan atau produk dengan komentar atau berita tentang produk yang bersangkutan).
-          Testimonial (menampilkan seseorang yang mewakili perusahaan atau produk dengan komentar atau berita tentang produk yang bersangkutan).
-          Teknis (hal-hal teknis sekitar produksi sebuah produk untuk memperkuat citra).
-          Bukti Ilmiah (bila ada bukti-bukti ilmiah bisa memperkuat produk).
-          Analogi (meminjam daya tarik benda lain yang sesungguhnya tak berhubungan langsung).
-          Humor (iklan yang bisa mengambil bintang utama pelawak)

Meskipun jalan cerita atau visual iklan televisi menarik belum tentu komunikan yang dituju mengerti maksud pesan yang disampaikan. Disini persepsi komunikan sangat berperan untuk menentukan keberhasilan iklan.

Perkembangan industri periklanan yang terbaru saat ini telah mencapai online advertising dimana perusahaan atau penjual dapat mengiklankan barang jualannya melalui media online atau internet. Industri ini mulai merangkak naik dan mengambil porsi belanja iklan dari industri periklanan sebelumnya. Bahkan diperkirakan kenaikannya akan mencapai 300 persen pada tahun 2009 ini (sumber: www.kompas.com).



Iklan Sebagai Komunikasi Bisnis 
Guna memahami apa dan bagaimana dan seperti apa bussines communication atau  komunikasi bisnis, perlu dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan komunikasi. Secara general, komunikasi adalah proses pertukaran lambang-lambang berarti (pesan) dari seorang komunikator kepada komunikan untuk menghasilkan efek tertentu.          
Menurut teori dari Lasswell(1948), yaitu: Who says what in which channel to whom with what effect, dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu. Dari defenisi umum dan sederhana tadi bisa terlihat sejumlah unsur penting komunikasi itu sendiri, yakni :
  1. Komunikator ( Communicator ), penyampai pesan.
  2. Pesan ( message), lambang-lambang berarti yang disampaikan.
  3. Channel, media yang digunakan
  4. Komunikan ( communican ), penerima pesan
  5. Efek ( Effect ), segala perubahan dalam diri komunikan yang ingin dicapai. Baik perubahan pengetahuan ( koginitif), perubahan perasaan (afektif) dan perubahan prilaku (kognitif/behavioural).
Saat proses komunikasi berlangsung, baik komunikan maupun komunikator mengeluarkan feedback (umpan balik) terhadap pesan yang disampaikan masing-masing. Dalam aktivitas di suatu organisasi bisnis, komunikasi merupakan aktivitas mendesak yang memegang peranan sangat penting. Sebuah kegagalan dalam organisasi bisnis, banyak yang disebabkan oleh kurang tertatanya komunikasi bisnis yang dilakukan para pelaku di organisasi tersebut.
Komunikasi bisnis ( Business Communication ) sejatinya adalah segala bentuk komunikasi  yang digunakan dalam dunia bisnis, mencakup berbagai macam bentuk komunikasi. Baik komunikasi verbal, maupun non verbal. Komunikasi bisnis yang berhasil dengan baik, adalah komunikasi yang bisa dilakukan secara efektif sesuai dengan situasi dan kondisi di organisasi bersangkutan. Iklan merupakan salah satu bentuk komunikasi bisnis dimana perusahaan melakukan pendekatan dengan pelanggannya. Proses komunikasi bisnis melalui iklan TV adalah sebagai berikut:
-          Perusahaan melalui tim kreatifnya sebagai penyampai pesan.
-          Pesan yang disampaikan berupa iklan
-          Media yang digunakan adalah televisi
-          Pesan disampaikan kepada pemirsa televisi
-          Efek baliknya berupa kenaikan demand terhadap barang dan jasa yang diiklankan atau bahkan loyalitas pelanggan terhadap produk tertentu.
Melalui tahapan di atas dapat dikatakan iklan adalah sarana untuk memperkenalkan barang dan jasa yang telah diproduksi perusahaan. Efek balik secara ekonomi dari dari iklan TV bersifat substansial dan terdokumentasi. Pesan dari iklan dipelajari oleh masyarakat tanpa terkecuali, kita ada pada masa dimana iklan benar-benar bekerja tanpa kita ketahui iklan tersebut bercerita tentang apa. (The Impact of Television Advertising: Learning without Involvement, H.E Krugman).

Analisis Persepsi dan Penerimaan Iklan (Studi Kasus Iklan Kecap Sedaap)
Ada sebuah kritik yang menarik mengenai periklanan, kritik ini disampaikan oleh Boulding(1955), seperti dituliskan oleh Achenbaum(1972) dalam sebuah tulisan ekonomi:
“Iklan kebanyakan, sayangnya, dipilih sebagai upaya untuk membangun pikiran konsumen, dimana pikiran tersebut adalah pikiran yang tidak rasional dalam memilih suatu barang atau produk yang satu dengan yang lain. Seni psikologi   digunakan untuk mempengaruhi konsumen bahwa mereka harus memilih Bingo daripada Bango”
Dalam 70 tahun terakhir, periklanan masih menggunakan metode persuasif yang sama. Secara sederhana metode itu disingkat menjadi AIDA (awareness-interest-desire-action). Masyarakat harus tanggap (aware) pada suatu merk atau brand sebelum mereka tertarik (interest) pada produk tersebut. Kemudian sebuah keinginan (desire) utuk membeli harus dimunculkan terlebih dahulu sebelum masyarakat memutuskan untuk mengambil sikap (action) membeli produk tersebut.
Tahapan persuasif yang dikerjakan oleh iklan tidak akan bekerja dengan baik tanpa adanya pemahaman terhadap iklan oleh masyarakat sasaran. Pemahaman atau pemaknaan komunikan terhadap pesan iklan tergantung atas persepsi masing-masing yang menikmati iklan tersebut. Sementara itu, persepsi komunikan terhadap suatu iklan menentukan berhasil tidaknya suatu iklan. Kreator iklan idealnya sudah memperhitungkan secara matang impact persepsi tersebut. Dalam perkembangannya terakhir, banyak iklan yang harus diganti atau direvisi karena alasan dari persepsi komunikan.
Contohnya produk sabun Citra. Visual iklan menampilkan seorang gadis Jawa mandi dengan setting sebuah desa alami dan sejuk. Di sini kesan tradisional terasa kental .Setelah beberapa kali muncul di televisi dan dievaluasi ternyata persepsi image yang diharapkan melenceng. Segmentasi pasar yang diharapkan adalah kelas menengah ke atas, tetapi justru yang banyak membeli sabun Citra kelas menengah bawah utamanya wanita pedesaan. Akhirnya visual iklan harus diubah. Setting visual tak lagi mandi di desa, tapi memakai bak mandi yang serba “wah”.

KB. Jensen dalam bukunya (A handbook of Qualitative Methodologies for Mass Communication Research) mengatakan, ‘There can be no effect without meaning’. Tidak ada efek tanpa suatu pemaknaan. Pemaknaan  yang dimaksud disini bukan mengenai apa yang diciptakan oleh media, melainkan gambaran apa yang timbul pada pemikiran pemirsa ketika melihat atau menyaksikan teks atau tayangan tertentu. Dengan kata lain, makna diciptakan karena menonton atau membaca dan memproses teks media.
Agar dapat menganalisa iklan kecap Sedaap, berikut adalah penggalan percakapan dari iklan tersebut:
Ada seorang anak laki-laki yang makan dengan lahap hanya dengan nasi dan kerupuk yang dikecapi. Kemudian si anak menghabiskan satu botol kecap (botol besar tepatnya), tapi sepertinya dia masih berniat untuk nambah, dan tidak lama ibunya langsung membawakan satu botol (lagi-lagi botol besar) kecap yang diinginkan si anak. Lalu pada akhirnya si anak berujar ”Nggak bisa makan tanpa kecap Sedaap.....”

Iklan tersebut akan dibahas lebih lanjut dalam penelitian media research ini.  Media Research menurut Stuart Hall (1973), mempunyai perhatian langsung terhadap : (a) analisis dalam konteks sosial dan politik dimana isi media diproduksi (encoding); dan (b) konsumsi isi media (decoding) dalam konteks kehidupan sehari-hari. Reception Analysis memfokuskan pada perhatian individu dalam proses komunikasi massa (decoding), yaitu pada proses pemaknaan dan pemahaman yang mendalam atas media texts, dan bagaimana individu menginterpretasikan isi media (Baran, 2003 : 269-270).
Kreator iklan kecap tersebut mungkin bermaksud untuk mempromosikan betapa sedapnya kecap tersebut. Namun ketika iklan tersebut ditayangkan di televisi dimana penontonnya terdiri dari segala lapisan usia, orang mulai mengembangkan pemikiran masing-masing, sesuai dengan lingkungan sosial mereka, budaya, atau bahkan lapisan umur mereka. Media tidak mempunyai kuasa ketika iklan itu berubah menjadi protes para ibu-ibu yang tidak suka anaknya makan tanpa 4 sehat 5 sempurna. Di sisi lain iklan itu juga berubah menjadi pembelaan bagi anak-anak kecil sewaktu orang tua mereka berniat memberi mereka makanan bergizi yang tidak mereka sukai.
Contoh diatas baru merupakan sebagian kecil dari sekian banyak golongan penonton televisi. Dua pemikiran yang berbeda telah tercipta. Masing-masing golongan, dalam hal ini golongan lapisan umur,memiliki interpretasi yang berbeda terhadap obyek yang sama. Golongan dengan lapisan umur sebagai orang tua memandang iklan tersebut sebagai ‘ancaman’, karena si anak makan hanya dengan nasi dan kerupuk ditemani sebotol kecap. Pola makan seperti ini tentu tidak baik, terlebih bagi anak-anak yang membutuhkan asupan nutrisi yang cukup untuk tumbuh kembang mereka. Apalagi saat ini anak-anak cenderung tidak suka makan, tapi lebih menyukai cemilan dan jajanan. Orang tua khawatir jika anak mereka menyaksikan iklan ini, pola makan anak akan semakin sulit diatur.
Melalui sebuah iklan pendek dan sederhana, pemikiran manusia bisa berkembang sedemikian rupa, bahkan di situasi yang berbeda dengan situasi yang disajikan dalam iklan. Media tidak punya kekuatan untuk membentuk pikiran masyarakat. Masyarakatlah yang memiliki asumsi tersendiri terhadap obyek yang mereka saksikan. Media hanya bagian dari proses pembentukan asumsi tersebut, namun tidak punya kekuatan untuk membentuk asumsi itu.
Secara teori dapat dikatakan bahwa media terintegrasi kedalam kehidupan sosial seseorang setiap harinya (Jensen, 2002:161-163). Media adalah bagian kehidupan sosial manusia, dan manusia terhubung dengan media dalam tata sosial masing-masing. Masyarakat dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna, tidak hanya sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi oleh media massa (McQuail, 1997:19).

Penutup
Berikut adalah komentar salah seorang ibu rumah tangga yang saya ambil dari blog perempuan rumahan:
”Ada yang menggelitik tentang iklan ini. Bagaimana pesan yang mungkin diterima adalah tidak masalah kalau anak-anak hanya makan nasi dengan kerupuk dan kecap manis. Tapi, apakah tidak lebih bijaksana, kalau lauk yang ditampilkan bukan hanya kerupuk? Kalau tidak ingin menampilkan daging, buatlah lauk ikan juga. Sayur mayur sederhana ataupun sebuah jeruk. Jadi, anak yang makan dengan lahap itu, tidak hanya dipenuhi dengan kerupuk yang tidak ada vitaminnya seperti itu. Masa’ iya, kerupuk dan kecap manis itu cukup?
Saya juga penggemar kerupuk kok. Apalagi kalau dimakan bersama nasi. Tapi, janganlah terlalu naif. Seenak apapun dan sebergizi apapun kecap yang sedang diiklankan itu, tetap saja tidak bisa menggantikan kualitas makanan sehat kan? Jadi, tampilkan kerupuk dan kecap sebagai makanan kesukaan, tapi jangan lupakan juga informasikan bagaimana makanan sehat yang sebenarnya.
Karena masyarakat gampang sekali terpengaruh dengan iklan. Kalau iklannya mengajari anak untuk makan hanya dengan kecap dan kerupuk (kalau orang tuanya mampu, lho) dengan persetujuan ibunya pula, kan kesannya jadi tidak mendidik. Kok, ibunya tidak perhatian begitu? Tapi ajaklah anak agar mau mau makan makanan sehat. Tidak perlu mewah, dengan keju atau sebagainya. Cukup nasi, ikan, sayur dan buah sederhana. Kalau anak melihat tokoh iklan favoritnya di tv mau makan sayur, akan sedikit lebih mudah pula baginya untuk makan sayur kan?”
Komentar lain saya dapatkan dari Yahoo! Answer mengenai 3 iklan terbagus dan terburuk. Sebagai hasil dari award tidak resmi itu iklan kecap Sedaap versi anak kecil menjadi iklan yang jelek atau terburuk, dengan alasan sama seperti ibu diatas.
Akhir cerita, adik dan ibu saya ’berdamai’ mengenai makan siang hari itu. Adik saya menghabiskan makan siangnya dengan lahap dan ibu saya tentu saja tersenyum puas sambil mengomel tentang iklan kecap tersebut.



[1] Short History of Journalism in the Dutch East Indies, G. Koff & Co., Sourabaya-Java,        hlm. 118-119

No comments:

Post a Comment