Thursday 30 September 2010

O P I N I P U B L I K : Kasus Cicak, Buaya dan Century Gate




“Kalau ada orang berprasangka, saya tidak boleh marah, karena kedudukan ini memang strategis. Tapi saya menyesal, kok masih ada orang yang goblok, sesuatu yang tidak mungkin bisa ia kerjakan kok dicari-cari. Jika dibandingkan, ibaratnya, di sini buaya di situ cicak. Cicak kok melawan buaya. Apakah buaya marah? Enggak, Cuma menysal. Cicaknya masih bodoh saja. Kita itu yang memintarkan, tapi kok sekian tahun nggak pinter-pinter. Dikasih kekuasaan kok malah mencari sesuatu yang enggak akan dapat apa-apa.” (Pernyataan Susno Duaji pada sebuah stasiun televisi)
Demikianlah pernyataan Susno Duaji mengenai perseteruan antara POLRI dan KPK. Pernyataan bermuatan emosi yang cukup tinggi ini dikeluarkan pada saat Susno masih menjabat sebagai Kabareskrim POLRI. Sepertinya istilah "Cicak vs Buaya" akan mengukir sejarah tersendiri di Indonesia. Masih hangat di ingatan kita, betapa ramainya minat masyarakat akan kasus yang ada dibalik  istilah tersebut.  Berbagai element massa membuat kelompok-kelompok untuk mendukung salah satu pihak. Gerakan mereka baik di lapangan bahkan sampai di dunia maya.
Peristiwa Cicak vs Buaya ini bermula ketika terjadi penyadapan telepon Kepala Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Kepolisian RI, Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji. Penyadapan diduga karena kasus penanganan Bank Century. Polisi lalu memeriksa Wakil Ketua KPK Chandra Hamzah lantaran disebut-sebut  melakukan penyadapan tak sesuai prosedur dan ketentuan. Pemeriksaan Chandra dituding untuk melumpuhkan lembaga KPK tersebut. Selanjutnya wartawan Tempo Anne L. Handayani, Ramidi, dan Wahyu Dhyatmika datang menemui Susno Duadji di ruang kerjanya mengadakan wawancara untuk klarifikasi masalah tersebut, dan terlontarlah pernyataan seperti disebut diatas.
Media memiliki peranan besar terhadap kepopuleran istilah Cicak vs Buaya ini. Media cetak dan elektronik tidak henti-hentinya memberitakan perkembangan kasus ini, serta menambah kepopuleran istilah cicak vs buaya. Pers (media cetak dan elektronik) dalam pemberitaannya berkaitan dengan kasus ini seringkali ditemukan agak berat sebelah. Beberapa pembaca berita dan jurnalis menyatakan dukungannya secara tersirat pada pihak KPK. Bernard C. Cohen dalam Advance Newsgathering menyebutkan bahwa peran yang dijalankan pers adalah sebagai pelapor (informer), dimana pers bertindak sebagai mata dan telinga publik untuk melaporkan peristiwa-peristiwa yang di luar pengetahuan masyarakat dengan netral dan tanpa prasangka. 
            Media lain yang turut menggulirkan perseteruan cicak vs buaya adalah New Media atau Internet. Telah disampaikan sebelumnya bahwa melalui komunitas dunia maya, seorang presiden Indonesia dapat ditekan untuk mengeluarkan kebijakan dengan cepat. Komunitas pendukung Bibit-Chandra (KPK) salah satunya ada pada jejaring sosial Facebook. Komunitas ini berjudul ‘Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto’. Anggotanya saat ini berjumlah 1.419.940 facebookers. Komunitas ini diprakarsai oleh Usman Yasin dari Yayasan Lembak Bengkulu. Forum ini dibuat tandingannya oleh Nurkhoiri dengan Satu triliun manusia dukung polri dalam kasus penahanan Chandra Hamzah dan Bibit, sampai saat ini anggotanya berjumlah 47.138  facebookers, selisih angka dukungan yang cukup jauh terpaut antara kedua forum tersebut. (Data dapat diakses lewat facebook)
Susno Duaji dalam kasus ini adalah sebagai pemrakarsa atau faktor pecetus lahirnya istilah cicak vs buaya yang mewakili bentuk perseteruan antara dua lembaga besar yaitu KPK dan POLRI. McQuail dalam bukunya (Teori Komunikasi Massa) mengatakan bahwa masyarakat modern beralih pada masyarakat informasi. Media massa merupakan perangsang penting terhadap penilaian dan konsumsi informasi. Dia menilai bahwa potensi perubahan revolusioner tidak terletak pada isi pesan, tetapi pada sarana produksi dan pendayagunaan pesan selanjutnya, termasuk nilai-nilai dalam masyarakat.[1]  Masyarakat dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna, tidak hanya sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi oleh media massa (McQuail, 1997:19). Demikian pesan cicak vs buaya telah berkembang sedemikian rupa dalam pemikiran masyarakat, membentuk sebuah opini publik di luar kehendak dan maksud si penyampai pesan (Susno Duaji).
Tanggapan masyarakat akan kasus ini segera menjadi luar biasa, opini publik tercipta dimana publik menilai Cicak sebagai pihak lemah yang perlu dibela. Pernyataan cicak vs buaya menjadi bumerang bagi pihak kepolisian. POLRI yang dianalogikan dengan istilah buaya dinilai negatif oleh masyarakat. Buaya kerap dikonotasikan dengan hewan besar yang buas, rakus, kejam, dan serakah. Tidak dapat disalahkan ketika akhirnya masyarakat menilai lembaga kepolisian memiliki sifat serupa. Padahal, mungkin maksud sebenarnya dari Susno Duaji dalam penggunaan istilah buaya adalah penggambaran kekuasaan POLRI yang besar dan kuat. Sebaliknya, simpati masyarakat terus bergulir untuk pihak lemah yang dianalogikan dengan hewan Cicak, yaitu KPK. Masyarakat memandang KPK sebagai pihak yang tertindas dan tak berdaya. Pernyatan Susno Duaji secara tidak langsung ternyata malah ‘memenangkan’ si Cicak atau KPK di mata masyarakat.
Para aktivis antikorupsi memaknai cecak dan buaya sebagai pertarungan antara segelintir orang yang cinta pemberantasan korupsi melawan arus besar penggembosan lembaga antikorupsi dan gerakannya. Tafsir itu adalah tafsir kontekstual yang memang sangat berdasar, mengingat banyaknya intervensi yang dilakukan oleh POLRI dan Kejaksaan atas sepak terjang KPK. Berangkat dari kegelisahan itulah, para aktivis, dimulai dari Jakarta, Semarang, dan beberapa kota besar lain, melakukan Deklarasi Cicak (Cinta Indonesia, Cinta KPK).
Beberapa Opini Tokoh Masyarakat
Berikut adalah beberapa opini tokoh masyarakat yang dikutip dari tulisan Effendi Ghozali dalam situs blog-nya:
“Jika tidak cermat ditangani, kasus bibit-chandra bisa menjadi simbol perlawanan rakyat seperti Aung San Suu Kyi (Hikmahanto Juwana)
“Publik terkesan belum melihat pembelaan dari presiden sebagaimana diharapkan” (Anies Bawedan)
“Penahanan bibit-chandra tidak biasa dilepaskan dari pengusutan kasus pencairan dana pada bank Century”  (Gus Dur (Alm) danDin Syamsuddin)
Selanjutnya adalah 2 rekomendasi tim delapan yang dikutip dari tulisan Dr.Wirantaprawira, salah satu aktifis CICAK:
“Proses hukum terhadap bibit-chandra sebaiknya dihentikan karena lemahnya bukti-bukti materil maupun formil dari penyidik”
“Menjatuhkan sanksi kepada pejabat-pejabat yang  bertanggung jawab pada proses hukum yang dipaksakan”
“Cecak dan buaya sebagai pertarungan antara segelintir orang yang cinta pemberantasan korupsi melawan arus besar penggembosan lembaga antikorupsi dan gerakannya” Cinta Indonesia, Cinta KPK dalam deklarasi CICAK
Berikut adalah opini dari komunitas local Yogyakarta baik sebagai pendukung KPK maupun sebagai pendukung POLRI, seperti tertulis pada TEMPO interaktif tanggal 10 November 2009:
“Presiden Susilo Bambang Yuhdoyono dan wakil presiden Boediono mundur jika tidak mencopot Kapolri dan Jaksa Agung yang dinilai telah gagal membersihkan mafia hukum dalam lembaganya, karena Kapolri dan Jaksa Agung telah nyata-nyata gagal membersihkan mafia peradilan” Suki Ratnasari (Humas kelompok AMUK)
“Langkah SBY membentuk Tim Delapan semakin memperkeruh persoalan karena hanya menyudutkan kepolisian dan kejaksaan” La Ode Songko Panatagama (Humas kelompok AMY-KRB)

Dilema Cicak vs Buaya
Pada saat harus menganalisis pihak yang diuntungkan dan yang dirugikan dalam kasus ini, penulis mengalami sedikit hambatan. Apabila dipikirkan secara menyeluruh hanya ada satu pihak yang diuntungkan karena kasus ini, pihak tersebut adalah Anggoro yang sampai saat ini tidak jelas dimana keberadaannya. Pihak POLRI maupun KPK sesungguhnya mengalami kerugian yang sangat besar karena rusaknya citra dari masing-masing lembaga tersebut.
Sangat disayangkan apabila kedua pihak harus berseteru, sebab secara institusional, semestinya pertarungan antara lembaga negara, terutama di bidang penegakan hukum, tidak perlu terjadi. KPK, kepolisian, dan kejaksaan adalah satu kesatuan sistem (integrated criminal justice system) dalam pemberantasan korupsi. Hal itu diatur dalam UU KPK No 30 Tahun 2002 bahwa KPK bisa melakukan koordinasi dan supervisi kepada kepolisian dan kejaksaan dalam penanganan kasus korupsi. Jadi, kasus ini sesungguhnya merupakan aib bagi lembaga-lembaga penegak hukum di Indonesia.
Media juga menjadi pihak diuntungkan secara penyiaran sebab dengan adanya pemberitaan cicak vs buaya memberikan efek yang bagus bagi rating siaran berita baik di TVOne maupun MetroTV, terlepas dari pemilik kedua stasiun TV tersebut merupakan lawan politik SBY.
Masyarakat Indonesia juga mendapatkan ‘keuntungan’, karena dalam sejarah Indonesia baru pada kasus ini terjadi pergerakan besar-besaran melalui opini publik di dunia maya yang berpengaruh pada dunia nyata berupa tindakan presiden sebagai respon reaksi masyarakat. Proses demokrasi terjadi di dunia maya, meskipun demokrasi itu tidak 100% valid, tetapi masyarakat Indonesia telah memiliki kesempatan untuk ikut andil dalam menentukan nasib tokoh masyarakat yaitu bibit-chandra sekaligus nasib sebuah institusi hukum bernama KPK.



[1] Dennis McQuail, Teori Komunikasi Massa (Jakarta:Penerbit Erlangga,1996), hal.75-76

No comments:

Post a Comment