Thursday 30 September 2010

Demokrasi Langsung: Sebuah Ideologi Global dari Pemberdayaan Publik


Demokrasi secara langsung pada hakikatnya hampir mustahil untuk diterapkan pada saat ini. Demokrasi langsung berarti rakyat memerintah dirinya secara langsung, tanpa perantara. Salah satu pendukung demokrasi langsung adalah Jean Jacques Rousseau, di mana Rousseau ini mengemukakan 4 kondisi yang memungkinkan bagi dilaksanakannya demokrasi langsung yaitu :
  • Jumlah warganegara harus kecil.
  • Pemilikan dan kemakmuran harus dibagi secara merata (hampir merata).
  • Masyarakat harus homogen (sama) secara budaya.
  • Terpenuhi di dalam masyarakat kecil yang bermata pencaharian pertanian.
Pertanyaan kemudian adalah: Mungkinkan keadaan yang digambarkan Rousseau itu ada di era negara modern saat ini? Jumlah warganegara negara-negara di dunia rata-rata berada di atas jumlah 1-2 juta jiwa, pemilikan harta sama sekali tidak merata, secara budaya masyarakat relatif heterogen (beragam) yang ditambah dengan infiltrasi budaya asing, dan pencaharian penduduk dunia tengah beralih dari pertanian ke industri. Masih mungkinkah demokrasi langsung dilaksanakan?
Di dalam demokrasi langsung, memang kedaulatan rakyat lebih terpelihara oleh sebab kekuasaannya tidak diwakilkan. Semua warganegara ikut terlibat di dalam proses pengambilan keputusan, tanpa ada yang tidak ikut serta. Namun, di zaman pelaksanaan demokrasi langsung sendiri, yaitu di masa negara-kota Yunani Kuno, ada beberapa kelompok masyarakat yang tidak diizinkan untuk ikut serta di dalam proses demokrasi langsung yaitu: budak, perempuan, dan orang asing.
Dengan alasan kelemahan demokrasi langsung, terutama oleh ketidakrealistisannya untuk diberlakukan dalam keadaan negara modern, maka demokrasi yang saat ini dikembangkan adalah demokrasi perwakilan. Di dalam demokrasi perwakilan, tetap rakyat yang memerintah. Namun, itu bukan berarti seluruh rakyat berbondong-bondong datang ke parlemen atau istana negara untuk memerintah atau membuat UU.
Rakyat terlibat secara ‘total’ di dalam mekanisme pemilihan pejabat (utamanya anggota parlemen) lewat Pemilihan Umum periodik (misal: 4 atau 5 tahun sekali). Dengan memilih si anggota parlemen, rakyat tetap berkuasa untuk membuat UU, akan tetapi keterlibatan tersebut melalui si wakil. Wakil ini adalah orang yang mendapat delegasi wewenang dari rakyat. Di Indonesia, 1 orang wakil rakyat (anggota parlemen) kira-kira mewakili 300.000 orang pemilih.
Dengan demokrasi perwakilan, rakyat tidak terlibat secara penuh di dalam membuat UU negara. Misalnya saja, dari hampir 200 juta jiwa warganegara Indonesia, proses pemerintahan demokrasi di tingkat parlemen hanya dilakukan oleh 500 orang wakil rakyat yang duduk menjadi anggota DPR. Bandingkan apabila Indonesia menerapkan demokrasi langsung di mana 200 juta rakyat Indonesia duduk di parlemen. Hasilnya pasti akan kacau memakan biaya mahal. Dengan kenyataan ini maka demokrasi perwakilan lebih praktis ketimbang demokrasi langsung.
Kembali ke pertanyaan awal berdasarkan kepercayaan Rousseau, dapatkah demokrasi langsung dilaksanakan? Pada tahun 1990-an istilah ‘Information Superhighway’ santer terdengar di media cetak dan berita. Media memberitakan betapa cepat dan tak terbatas informasi yang dibawa oleh media jenis baru ini. Saat ini media ini dikenal dengan sebutan internet. Sebelum melangkah jauh pada tulisan ini penulis meyakini bahwa pada saat Carveth, Owers dan Alexander menulis The Economics of Online Media, koneksi internet melalui wireless fired (wi-fi) belum ditemukan sehingga mereka hanya menyebut internet sebagai cable industry. Saat ini, lebih dari 10 tahun sejak tulisan The Economics of Online Media dibuat, begitu cepat dan banyaknya perubahan yang terjadi pada media online atau new media ini.
Perkembangan dunia Online juga terbagi atas tiga tahap. Tahap pertama adalah penemuan jejaring online tersebut, para penemunya disebut dengan ‘the Pioneers’. Sebagian besar dari mereka adalah ilmuwan dan teknisi yang prihatin dengan dengan kebutuhan di bidang pertahanan Negara. Tidak heran jika lahirnya internet, yang diawali dengan lahirnya intranet terjadi di pusat pertahanan terbesar di Amerika Serikat, yaitu di gedung Pentagon. Ide awal dari internet adalah intranet, dimana sebuah komputer dapat terkoneksi dengan komputer yang lain, sehingga dimungkinkan adanya file transfer atau pertukaran data dan informasi. Proyek besar ini didukung oleh ARPA (Advanced Research Projects Agency), sebuah lembaga pemerintah AS yang menangani riset berskala besar.
Tahap kedua adalah hadirnya ’the settlers’, yaitu para akademisi dan ilmuwan yang menggunakan teknologi ini untuk berbagi sumber, seperti pada file transfer dan berkomunikasi satu dengan yang lain. Tujuan utama dari ’the settlers’ yaitu untuk dapat berkomunikasi dengan sesama ’Cybernauts’ atau ’penggila online’ yaitu mereka yang tertarik untuk membangun komunitas di dunia maya. Mungkin ’the settlers’ inilah yang membuat Facebook menjadi jejaring sosial terbesar saat ini.   
Tahap ketiga adalah hadirnya ’people of capital’. Setelah ditolak selama 10 tahun, yaitu dari tahun 1980, pada tahun 1990 mereka kembali untuk memperoleh keuntungan melalui dunia maya. Caranya adalah dengan menggunakan videotex (teks yang ditransmisikan secara online) dan ditampilkan pada layar komputer (Major, 1990). Akan tetapi, konsumen mulai memanfaatkan videotex ini secara meluas pada tahun 1994.
Internet ada di balik keberhasilan pemilihan umum para pemimpin negara di dunia. SBY memanfaatkan internet sebagai salah satu alat sosialisasi dan  kampanye. Amerika memiliki sejarah yang lebih fantastis dalam kampanye pemilihan presiden. Jika dahulu Franklin Delano Roosevelt menggunakan radio dan John F Kennedy memanfaatkan televisi untuk menggapai kemenangan. Kini Barack Obama menggunakan internet sebagai media sosial, menyapa masyarakat akar rumput melalui teknologi komunikasi yang berkembang amat pesat.
Barack Obama menoreh sejarah dengan memanfaatkan internet untuk menjaring pendukung dalam kampanye-kampanyenya dan mengumpulkan dana secara online. Barack Obama memiliki situs-situs jejaring sosial yang populer tidak hanya di Amerika Serikat, tetapi juga di banyak negara di dunia, mulai dari Facebook, My Space, Linkedin, You Tube, Friendster, hingga Twitter.
Obama, seorang senator dari Illinois, mampu mengalahkan Hillary Clinton, Senator New York, saat konvensi Partai Demokrat. Kini dia menang atas John McCain dari Partai Republik dalam pemilihan 4 November. Saat pertarungannya dengan Hillary, Obama mengantongi dana 38 juta dollar AS selama kampanye dan hanya berutang 2 juta dollar AS. Adapun Hillary hanya memperoleh 6 juta dollar AS dan utangnya untuk kampanye membengkak 21 juta dollar AS. Obama memanfaatkan internet untuk memperoleh sumbangan dana kampanye lewat online hanya 5 dollar AS per orang, tetapi disumbang oleh jutaan orang. Hillary masih menggunakan pola lama berkampanye, termasuk mencari dana. Hillary melupakan faktor kunci dalam dunia baru politik di AS, yaitu jejaring sosial. Ibaratnya, Hillary masih menggunakan AOL, Obama sudah memanfaatkan jejaring sosial Facebook. Hillary masih PC, Obama sudah sebuah Mac. (www.kompas.co.id, 6 November 2008)
Internet telah menjadi gaya hidup masyarakat jaman sekarang. Penulis menghitung kira-kira dalam sehari seseorang mengakses situs facebook miliknya sebanyak 5-10 kali. Teknologi Smartphone mendukung akses internet di mana pun dan kapan pun. Apabila diamati pelaku usaha internet juga tidak jauh berbeda dari 10 tahun lalu, ketika 10 tahun lalu AT&T ikut ambil bagian dalam sejarah videotex di Amerika Serikat, saat ini sebagian produknya telah merajai pasar internasional. Produk berupa smartphone yang dinamakan Blackberry itu telah dikenal oleh masyarakat luas dan menjadi salah satu gadget andalan untuk akses internet.
Pemaparan mengenai internet diatas telah memberikan sebuah gambaran jawaban atas kemungkinan dilaksanakannya demokrasi langsung. Teknologi internet ini memungkinkan terwujudnya demokrasi langsung. Indonesia merupakan salah satu negara yang berpenduduk besar dengan tingkat konsumsi internet yang rendah. Dikatakan rendah karena bila dibandingkan rasio penggunaan internet oleh penduduk Indonesia yang sekitar 20 juta orang dengan jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 200 juta orang lebih, maka perbandingannya hanya sekitar 10 %. Tentu hal ini merupakan hal yang potensial bagi industri komunikasi untuk menggarap wilayah Indonesia agar lebih banyak lagi menggunakan internet nantinya. Lagipula pemerintah Indonesia sudah getol untuk mengenalkan internet hingga ke pelosok-pelosok desa dengan harapan informasi dari pusat ke daerah bisa sampai dengan cepat. Sehingga, pertumbuhan dan pembangunan masyarakat desa bisa lebih cepat terjadi. Ini cita-cita yang harus diapresiasi tentunya.   
Indonesia tampaknya tidak main-main dengan rencana ini. Pemerintah sudah mengeluarkan program agar semua desa bisa dijangkau internet. Program ini sendiri bertajuk program “desa pinter” atau desa pakai internet. Program “desa pinter” mulai dicanangkan sejak Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I, tepatnya pada saat M. Nuh menjabat sebagai Menkominfo. Program Kerja Desa Pinter bertujuan untuk membangun seluruh desa di Indonesia yang mampu mengakses informasi. Rencananya, program ini akan mencakup 5.738 desa dimana masing-masing 1 desa memiliki 1 komputer. Dana awal yang dianggarkan untuk Desa Pinter adalah sebesar 1,4 triliun.
Program ini merupakan proyek jangka panjang dimana SBY mencanangkan tahun 2010, seluruh desa terhubung dengan infrastruktur telepon dan internet.(+/- 62.000 desa dan 5.000 kecamatan seluruh Indonesia). M.Nuh mengklaim sudah berjalan sebesar 50 persen lebih  (lebih dari 31.000 desa) namun belum menjangkau wilayah Indonesia Timur.
Program “desa pinter” ini kemudian dilanjutkan oleh Menkominfo Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, Tifatul Sembiring. Beliau mencanangkan program 100 hari, dimana  direncanakan 100 desa menjadi prioritas masuknya komputer dan 25.000 desa terhubung saluran telepon. Rencana anggaran program 100 hari ini pada tahun pertama yaitu sebesar 370,5 miliar. Sebagai langkah awal akan dilaksanakan beberapa program pendukung yaitu pembangunan USO (Universal Service Obligation), Community Access Point, dan pembangunan proyek Palapa Ring.
Proyek USO bertujuan untuk mengurangi kesenjangan akses telekomunikasi di daerah-daerah, termasuk daerah terpencil, dan telah diluncurkan program penyediaan layanan fasilitas telelomunikasi untuk 31.824 SST di tingkat perdesaan, dengan target pencapaian seluruh desa dapat berdering pada tahun 2010.
Community Access Point merupakan pembentukan sentra-sentra layanan informasi masyarakat di seluruh wilayah Indonesia dengan penyediaan teknologi informasi dan infrastruktur di berbagai pelosok tanah air melalui pembangunan dan pengembangan. Proyek pembangunan yang terakhir, Palapa Ring merupakan program pemerintah membangun jaringan serat optik internasional yang terdiri atas 7 cincin untuk meningkatkan dan memeratakan ketersediaan infrastruktur telekomunikasi sehingga melingkupi 33 ibukota propinsi dan 460 kabupaten/440 kabupaten kota di seluruh Indonesia termasuk wilayah timur. (sudah ditandatangani SBY tanggal 30 November 2009 lalu).
Program desa Pinter ini bertujuan untuk mengurangi jurang perbedaan antara kota dan desa akan ketersediaan informasi. Hal ini berkaitan dengan information literacy (melek informasi). Selama ini harus diakui ada jurang atau gap informasi yang diterima antara masyarakat desa dengan perkotaan. Maka, ada keyakinan dari pemerintah bahwa pembangunan bisa dipercepat salah satunya dengan ketersediaan informasi. Informasi bisa bermacam-macam tentunya mulai tentang apa saja yang sudah terjadi di sekitar masyarakat pedesaan maupun kota-kota besar seperti perubahan politik, ekonomi, permasalahan sosial budaya, hingga informasi yang tidak penting bagi masyarakat seperti gossip dan infotainment.  Ketersediaan informasi bisa menjadi stimulan bagi masyarakat pedesaan misalnya untuk mulai berfikir bahwa keadaan terus berubah sehingga mau tidak mau mendorong mereka juga untuk berfikir lebih maju (namun bukan berarti pula berfikir seperti orang kota). Misalnya, agar mereka mengerti dengan hak-haknya sebagai warga negara untuk mendapatkan fasilitas, jaminan kesehatan, hak mereka untuk berpartisipasi dalam politik, dll yang mungkinselama ini tidak mereka sadari.
Ketersediaan Informasi di masyarakat selama ini terkendala banyak hal terutama oleh sarana dan fasilitas. Belum adanya saluran komunikasi seperti telepon sering terkendala karena jaringan telepon belum terpasang, belum banyaknya kantor-kantor yang memiliki fasilitas internet di pedesaan terkendala dengan listrik yang masih minim. Selama ini fasilitas komunikasi di pedesaan terkadang masih bergantung pada koran masuk desa, televisi, atau bahakan yang lebih parah lagi masih melalui masjid untuk daerah yang terpencil. Tentunya fasilitas- fasilitas komunikasi ini juga harus mepertimbangkan fasilitas-fasilitas penunjang lainnya seperti listrik, transportasi, dll.
         Masuknya teknologi harus membawa kemanfaatan salah satunya memberdayakan masyarakat. Masyarakat harus mampu mulai dari memikirkan dan menterjemahkan apa yang menjadi kebutuhannya hingga berdaya untuk mengusahakan terpenuhinya kebutuhan tersebut. Keadaan masyarakat pedesaan Indonesia saat ini masih belum merata dan beragam. Sebagian masyarakat pedesaan mungkin sudah ada yang mampu menemukan apa yang menjadi kebutuhan dirinya dan  bersama  sehingga mampu pula bersuara untuk menyampaikan kepada pihak yang terkait (dalam hal ini pemerintah daerah) untuk dipenuhinya kebutuhan tersebut atau secara swadaya memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Terkadang masih sulit untuk menterjemahkan kebutuhannya termasuk sulit untuk mengusahakan terpenuhinya kebutuhan tersebut. Diharapkan dengan adanya fasilitas teknologi internet ini, masyarakat berdaya untuk menterjemahkan kebutuhannya dan mengusahakan terpenuhinya kebutuhan tersebut. Tapi masih sulit tentunya untuk melihat secara riil bagaimana pemberdayaan yang nanti bisa terwujud bila internet masuk desa ini sudah terlaksana seluruhnya. Apakah seperti yang sudah disebutkan di awal yaitu  petani di pedesaan memasarkan padinya lewat email atau nelayan memasang foto ikan hasil tangkapannya untuk dijual melalui account facebooknya. . Bahkan, transaksi pun mungkin tidak lagi berupa pembayaran tunai melainkan transfer melalui telepon seluler dengan fasilitas e-banking.
Selain dari esensi pentingnya program ini ada kesulitan lain yang biasa menjadi kesulitan dalam pelaksanaan program-program pemerintah. Kesulitan tersebut adalah buruknya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, berkaitan internet masuk desa salah satunya di Riau dimana masih ada daerah yang tidak memiliki jaringan. Hal lain yang penting untuk diperhatikan adalah sosialisasi penggunaan baru dilakukan setelah infrastruktur dibangun secara merata. Sosialisasi sering menjadi permasalahan karena pusat dan daerah tidak berkoordinasi. Pusat sering memberikan kebijakan kepada daerah tanpa diikuti petunjuk-petunjuk pelaksanaan dari pusat. Memang sebagai konsekuensi desentralisasi, daerah memiliki hak untuk mengatur permasalahan di daerah. Namun tetap diperlukan sosialisasi terlebih dahulu kepada daerah dan masyarakat luas bahwa ada program tertentu yang tujuannya tertentu pula. Sehingga pusat pun bisa mengetahui mengenai potensi didaerah dan masalah daerah masing-masing.  Apalagi, pengawasan pun rencananya akan diserahkan ke desa masing-masing (self regulating). Perlu ada pemantauan yang berkala mengenai efektifitas program ini kedepannya bila sudah benar-benar terlaksana. 
            Bagaimana dengan demokrasi langsung? Tentu saja mungkin untuk terwujud apabila pemerintah benar-benar berkomitmen dalam program ini. Internet adalah sarana penunjang yang cukup tepat untuk membangun e-government atau pemerintahan secara elektronis (internet). Melalui situs e-government, pemerintah dapat merangkul masyarakat yang majemuk. Demikian pula masyarakat dapat berkomunikasi langsung dengan pemerintah. Apabila situs-situs pemerintah yang sudah ada saat ini dimanfaatkan secara maksimal, tidak mustahil demokrasi langsung dapat terwujud. Jangan hanya menggunakan internet untuk berkampanye saja, tapi manfaatkanlah internet untuk memahami, melayani dan memberdayakan masyarakat.

O P I N I P U B L I K : Kasus Cicak, Buaya dan Century Gate




“Kalau ada orang berprasangka, saya tidak boleh marah, karena kedudukan ini memang strategis. Tapi saya menyesal, kok masih ada orang yang goblok, sesuatu yang tidak mungkin bisa ia kerjakan kok dicari-cari. Jika dibandingkan, ibaratnya, di sini buaya di situ cicak. Cicak kok melawan buaya. Apakah buaya marah? Enggak, Cuma menysal. Cicaknya masih bodoh saja. Kita itu yang memintarkan, tapi kok sekian tahun nggak pinter-pinter. Dikasih kekuasaan kok malah mencari sesuatu yang enggak akan dapat apa-apa.” (Pernyataan Susno Duaji pada sebuah stasiun televisi)
Demikianlah pernyataan Susno Duaji mengenai perseteruan antara POLRI dan KPK. Pernyataan bermuatan emosi yang cukup tinggi ini dikeluarkan pada saat Susno masih menjabat sebagai Kabareskrim POLRI. Sepertinya istilah "Cicak vs Buaya" akan mengukir sejarah tersendiri di Indonesia. Masih hangat di ingatan kita, betapa ramainya minat masyarakat akan kasus yang ada dibalik  istilah tersebut.  Berbagai element massa membuat kelompok-kelompok untuk mendukung salah satu pihak. Gerakan mereka baik di lapangan bahkan sampai di dunia maya.
Peristiwa Cicak vs Buaya ini bermula ketika terjadi penyadapan telepon Kepala Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Kepolisian RI, Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji. Penyadapan diduga karena kasus penanganan Bank Century. Polisi lalu memeriksa Wakil Ketua KPK Chandra Hamzah lantaran disebut-sebut  melakukan penyadapan tak sesuai prosedur dan ketentuan. Pemeriksaan Chandra dituding untuk melumpuhkan lembaga KPK tersebut. Selanjutnya wartawan Tempo Anne L. Handayani, Ramidi, dan Wahyu Dhyatmika datang menemui Susno Duadji di ruang kerjanya mengadakan wawancara untuk klarifikasi masalah tersebut, dan terlontarlah pernyataan seperti disebut diatas.
Media memiliki peranan besar terhadap kepopuleran istilah Cicak vs Buaya ini. Media cetak dan elektronik tidak henti-hentinya memberitakan perkembangan kasus ini, serta menambah kepopuleran istilah cicak vs buaya. Pers (media cetak dan elektronik) dalam pemberitaannya berkaitan dengan kasus ini seringkali ditemukan agak berat sebelah. Beberapa pembaca berita dan jurnalis menyatakan dukungannya secara tersirat pada pihak KPK. Bernard C. Cohen dalam Advance Newsgathering menyebutkan bahwa peran yang dijalankan pers adalah sebagai pelapor (informer), dimana pers bertindak sebagai mata dan telinga publik untuk melaporkan peristiwa-peristiwa yang di luar pengetahuan masyarakat dengan netral dan tanpa prasangka. 
            Media lain yang turut menggulirkan perseteruan cicak vs buaya adalah New Media atau Internet. Telah disampaikan sebelumnya bahwa melalui komunitas dunia maya, seorang presiden Indonesia dapat ditekan untuk mengeluarkan kebijakan dengan cepat. Komunitas pendukung Bibit-Chandra (KPK) salah satunya ada pada jejaring sosial Facebook. Komunitas ini berjudul ‘Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto’. Anggotanya saat ini berjumlah 1.419.940 facebookers. Komunitas ini diprakarsai oleh Usman Yasin dari Yayasan Lembak Bengkulu. Forum ini dibuat tandingannya oleh Nurkhoiri dengan Satu triliun manusia dukung polri dalam kasus penahanan Chandra Hamzah dan Bibit, sampai saat ini anggotanya berjumlah 47.138  facebookers, selisih angka dukungan yang cukup jauh terpaut antara kedua forum tersebut. (Data dapat diakses lewat facebook)
Susno Duaji dalam kasus ini adalah sebagai pemrakarsa atau faktor pecetus lahirnya istilah cicak vs buaya yang mewakili bentuk perseteruan antara dua lembaga besar yaitu KPK dan POLRI. McQuail dalam bukunya (Teori Komunikasi Massa) mengatakan bahwa masyarakat modern beralih pada masyarakat informasi. Media massa merupakan perangsang penting terhadap penilaian dan konsumsi informasi. Dia menilai bahwa potensi perubahan revolusioner tidak terletak pada isi pesan, tetapi pada sarana produksi dan pendayagunaan pesan selanjutnya, termasuk nilai-nilai dalam masyarakat.[1]  Masyarakat dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna, tidak hanya sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi oleh media massa (McQuail, 1997:19). Demikian pesan cicak vs buaya telah berkembang sedemikian rupa dalam pemikiran masyarakat, membentuk sebuah opini publik di luar kehendak dan maksud si penyampai pesan (Susno Duaji).
Tanggapan masyarakat akan kasus ini segera menjadi luar biasa, opini publik tercipta dimana publik menilai Cicak sebagai pihak lemah yang perlu dibela. Pernyataan cicak vs buaya menjadi bumerang bagi pihak kepolisian. POLRI yang dianalogikan dengan istilah buaya dinilai negatif oleh masyarakat. Buaya kerap dikonotasikan dengan hewan besar yang buas, rakus, kejam, dan serakah. Tidak dapat disalahkan ketika akhirnya masyarakat menilai lembaga kepolisian memiliki sifat serupa. Padahal, mungkin maksud sebenarnya dari Susno Duaji dalam penggunaan istilah buaya adalah penggambaran kekuasaan POLRI yang besar dan kuat. Sebaliknya, simpati masyarakat terus bergulir untuk pihak lemah yang dianalogikan dengan hewan Cicak, yaitu KPK. Masyarakat memandang KPK sebagai pihak yang tertindas dan tak berdaya. Pernyatan Susno Duaji secara tidak langsung ternyata malah ‘memenangkan’ si Cicak atau KPK di mata masyarakat.
Para aktivis antikorupsi memaknai cecak dan buaya sebagai pertarungan antara segelintir orang yang cinta pemberantasan korupsi melawan arus besar penggembosan lembaga antikorupsi dan gerakannya. Tafsir itu adalah tafsir kontekstual yang memang sangat berdasar, mengingat banyaknya intervensi yang dilakukan oleh POLRI dan Kejaksaan atas sepak terjang KPK. Berangkat dari kegelisahan itulah, para aktivis, dimulai dari Jakarta, Semarang, dan beberapa kota besar lain, melakukan Deklarasi Cicak (Cinta Indonesia, Cinta KPK).
Beberapa Opini Tokoh Masyarakat
Berikut adalah beberapa opini tokoh masyarakat yang dikutip dari tulisan Effendi Ghozali dalam situs blog-nya:
“Jika tidak cermat ditangani, kasus bibit-chandra bisa menjadi simbol perlawanan rakyat seperti Aung San Suu Kyi (Hikmahanto Juwana)
“Publik terkesan belum melihat pembelaan dari presiden sebagaimana diharapkan” (Anies Bawedan)
“Penahanan bibit-chandra tidak biasa dilepaskan dari pengusutan kasus pencairan dana pada bank Century”  (Gus Dur (Alm) danDin Syamsuddin)
Selanjutnya adalah 2 rekomendasi tim delapan yang dikutip dari tulisan Dr.Wirantaprawira, salah satu aktifis CICAK:
“Proses hukum terhadap bibit-chandra sebaiknya dihentikan karena lemahnya bukti-bukti materil maupun formil dari penyidik”
“Menjatuhkan sanksi kepada pejabat-pejabat yang  bertanggung jawab pada proses hukum yang dipaksakan”
“Cecak dan buaya sebagai pertarungan antara segelintir orang yang cinta pemberantasan korupsi melawan arus besar penggembosan lembaga antikorupsi dan gerakannya” Cinta Indonesia, Cinta KPK dalam deklarasi CICAK
Berikut adalah opini dari komunitas local Yogyakarta baik sebagai pendukung KPK maupun sebagai pendukung POLRI, seperti tertulis pada TEMPO interaktif tanggal 10 November 2009:
“Presiden Susilo Bambang Yuhdoyono dan wakil presiden Boediono mundur jika tidak mencopot Kapolri dan Jaksa Agung yang dinilai telah gagal membersihkan mafia hukum dalam lembaganya, karena Kapolri dan Jaksa Agung telah nyata-nyata gagal membersihkan mafia peradilan” Suki Ratnasari (Humas kelompok AMUK)
“Langkah SBY membentuk Tim Delapan semakin memperkeruh persoalan karena hanya menyudutkan kepolisian dan kejaksaan” La Ode Songko Panatagama (Humas kelompok AMY-KRB)

Dilema Cicak vs Buaya
Pada saat harus menganalisis pihak yang diuntungkan dan yang dirugikan dalam kasus ini, penulis mengalami sedikit hambatan. Apabila dipikirkan secara menyeluruh hanya ada satu pihak yang diuntungkan karena kasus ini, pihak tersebut adalah Anggoro yang sampai saat ini tidak jelas dimana keberadaannya. Pihak POLRI maupun KPK sesungguhnya mengalami kerugian yang sangat besar karena rusaknya citra dari masing-masing lembaga tersebut.
Sangat disayangkan apabila kedua pihak harus berseteru, sebab secara institusional, semestinya pertarungan antara lembaga negara, terutama di bidang penegakan hukum, tidak perlu terjadi. KPK, kepolisian, dan kejaksaan adalah satu kesatuan sistem (integrated criminal justice system) dalam pemberantasan korupsi. Hal itu diatur dalam UU KPK No 30 Tahun 2002 bahwa KPK bisa melakukan koordinasi dan supervisi kepada kepolisian dan kejaksaan dalam penanganan kasus korupsi. Jadi, kasus ini sesungguhnya merupakan aib bagi lembaga-lembaga penegak hukum di Indonesia.
Media juga menjadi pihak diuntungkan secara penyiaran sebab dengan adanya pemberitaan cicak vs buaya memberikan efek yang bagus bagi rating siaran berita baik di TVOne maupun MetroTV, terlepas dari pemilik kedua stasiun TV tersebut merupakan lawan politik SBY.
Masyarakat Indonesia juga mendapatkan ‘keuntungan’, karena dalam sejarah Indonesia baru pada kasus ini terjadi pergerakan besar-besaran melalui opini publik di dunia maya yang berpengaruh pada dunia nyata berupa tindakan presiden sebagai respon reaksi masyarakat. Proses demokrasi terjadi di dunia maya, meskipun demokrasi itu tidak 100% valid, tetapi masyarakat Indonesia telah memiliki kesempatan untuk ikut andil dalam menentukan nasib tokoh masyarakat yaitu bibit-chandra sekaligus nasib sebuah institusi hukum bernama KPK.



[1] Dennis McQuail, Teori Komunikasi Massa (Jakarta:Penerbit Erlangga,1996), hal.75-76

Kartini vs Erin Brockovich ; Feminisme dalam Film




Perempuan itu duduk di sebuah ruangan, ia berpakaian kebaya dengan rambut disanggul tinggi. Di tangannya terdapat pena yang terus menerus menggores lembar-lembar kertas berwarna kekuningan. Meskipun ruangan itu hanya diterangi oleh lampu teplok (lampu minyak), perempuan itu tampak asyik dan tak mempermasalahkan segala keterbatasan yang dia rasakan. Surat yang ia tulis ditujukan kepada sahabatnya Rosa yang bermukim di Belanda. Ide dan pemikirannya ia uangkapkan dalam tulisannya kepada sahabatnya tersebut. Dari balik meja dan kursi itulah namanya dikenal orang, kondisi dan situasi sosial pada masa itu tidak memungkinkannya untuk berkoar-koar memperjuangkan nasib kaumnya. Lewat suratnya ia menyerukan suara hatinya dan keprihatinannya terhadap feodalisme yang ia alami saat itu. Perempuan itu bernama Kartini, simbol atau ikon emansipasi wanita di Indonesia.
Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit. Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.
Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka. Dengan cara itulah Kartini berusaha mencerdaskan kaum wanita pada jamannya dan mengikuti gerakan feminisme lain di Indonesia seperti perjuangan Cut Nyak Dien dan saat Laksamana Malahayati memimpin 2.000 pasukan Inong Balee mengacaukan barisan Frederic Houtman pada 1599 di pesisir Banda Aceh.
Kisah Kartini kemudian di-filmkan dengan judul RA Kartini pada tahun 1984 dengan sutradara Syuman Djaya dan dibintangi oleh Yenni Rachman. Film ini mengisahkan tentang perjuangan R.A. Kartini dalam memperjuangkan hak kaum wanita Indonesia yang pada saat itu masih belum disetarakan dengan hak-hak kaum pria dalam hal mendapatkan pendidikan dan sebagainya (emansipasi wanita). Film ini diterbitkan berdasarkan isi dari buku 'Biografi Kartini' yang ditulis oleh (alm.) Sitisoemandari Soeroto.
Kartini dalam film ini berkarakter cukup keras meskipun akhirnya ia harus mengalah dengan adat istiadat dan budaya Jawa dalam hal pernikahan. Ia santun, penuh rasa ingin tahu, mandiri, dan memiliki kemampuan kepemimpinan yang baik. Meskipun terbentur adat istiadat dan budaya, ia tetap memperjuangkan baca tulis bagi kaum wanita yang dianggapnya simbol intelegensi sebagai seorang manusia.
Seorang perempuan yang lain berpeluh di tengah teriknya matahari. Dengan pakaian yang minim, tepatnya dengan menggunakan tank top dan rok mini, ia berkeliling di sebuah pemukiman bernama Hinkley, kota kecil yang terletak di California, Amerika Serikat. Perempuan itu adalah Erin Brockovich, seorang janda seorang janda tiga anak yang berhasil membongkar kasus pencemaran lingkungan di Hinkley.  Ia membawa warga di sana menggugat Pasific Gas & Electric Company, perusahaan raksasa beraset milyaran dolar yang mencemari air tanah Hinkley, California selama bertahun-tahun. Erin adalah salah satu simbol feminisme di dunia barat, kisahnya diangkat dalam sebuah film berjudul seperti namanya Erin Brockovich.
Erin Brokovich yang telah melewati perceraian untuk keduakalinya harus bertahan hidup dengan tiga anak tanpa pekerjaan dan penghasilan. Kisah menakjubkan Erin Brockovich seolah bermula dari ketidaksengajaan. Erin menemukan bahwa air tanah di Hinkley, California telah tercemar hexavalent chromium (Cr 6), limbah industri beracun yang mengancam penduduk Hinkley. Kandungan Cr 6 di air tanah di Hinkley mencapai 20-25 ppm, atau 400 kali dari standar aman. Warga di sana mengkonsumsi air beracun, sekaligus menghirup udara yang ikut tercemar racun pula. Pencemaran Cr 6 tersebut dapat berakibat sangat fatal, dapat meyebabkan penyakit-penyakit berbahaya, termasuk kanker, dan sangat mungkin menyebabkan kematian.
Setelah proses hukum panjang selama dua tahun, akhirnya tuntutan dana kompensasi sebesar 333 juta Dollar AS bagi warga dipenuhi. Pasific Gas & Electric Company juga dibebani tuntutan untuk membersihkan lingkungan yang tercemar dan menghentikan pencemaran Cr 6 dalam operasinya. Gugatan Erin tercatat sebagai salah satu gugatan hukum terbesar dalam sejarah Amerika. Kisahnya kemudian memberi inspirasi bagi pengungkapan kasus-kasus serupa. Erin saat ini menjabat sebagai direktur riset firma hukum Masry & Vititoe di Beverly Hills.
Erin Brockovich yang dimainkan oleh Julia Roberts ini berkarakter kuat, selalu bertindak berdasarkan intuisi dan keyakinannya, pantang menyerah, berani menghadapi resiko, keras, pintar bergaul, cepat memahami suatu permasalahan, jiwa sosialnya tinggi, dan selalu mengeluarkan sikap dan tindakan yang sesuai dengan nuraninya saat itu. Meski cenderung brutal (ucapannya kadang tidak sopan, pakaiannya seksi. Kesan feminisme hadir dengan karakternya yang sangat kuat (bayangkan bekerja dengan memiliki 3 orang anak),  cerdas (keberhasilannya mengungkap kasus pencemaran selama bertahun-tahun telah membuktikan kecerdasannya), dan bebas dalam artian ia adalah seorang single parent yang tidak terikat pada suami meskipun dia memiliki seorang kekasih yang mendukung pekerjaannya.
Media perfileman menggambarkan sosok Kartini dan Erin Brockovich dalam kemasan yang berbeda. Kartini dengan setting budaya Jawa jaman feodal tentu saja tidak mungkin menggunakan busana seksi seperti Erin Brockovich yang hidup di kebebasan dunia barat. Satu hal yang sama adalah keduanya mengusung tema feminisme dimana sosok perempuan digambarkan sebagai manusia yang tegar, kuat hati, mandiri, dan cerdas. Keduanya berjuang utnuk sesuatu yang mereka yakini benar, keduanya punya idealism, keduanya punya tujuan hidup yang berkaitan dengan hati nurani. 
21 April 2010, dalam rangka memperingati Hari Kartini, Pro TV bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Jepara membuat film dokudrama berjudul Wanita Terpilih. Kartini yang ditampilkan tetap sama, dengan busana kebaya ala tahun 1900, meskipun tahun pembuatan film sudah berbeda jauh. Apa yang menyebabkan sosok Kartini yang dijual media tetap sama seperti bertahun-tahun yang lalu? Film Erin Brockovich saja berbeda dengan aslinya, Erin Brockovich asli pernah berkomentar mengenai pakaian Erin Brockovich dalam film yang dianggap terlalu seksi. Bagaimana dengan Kartini, mengapa media tidak berusaha mengemasnya dengan tampilan berbeda? Misalnya tidak usah terlalu ekstrem, mungkin bisa dengan Kartini yang memakai celana jeans, saya pribadi membayangkannya saja sudah tidak mampu. Buku teks pelajaran serta film-film tentang Kartini yang telah saya tonton tidak mengijinkan pemikiran saya melayang sampai ke Kartini dengan celana jeans. Lucu juga ternyata bagaimana proses sebuah film dan gambar bisa mempengaruhi manusia. Apakah memang ada larangan membuat sosok Kartini bercelana jeans atau memakai rok mini? Saya kurang tahu mengenai hal itu.
Memang ada campur tangan pemerintah orde baru dalam pembentukan image seorang Kartini yang masih terpelihara sampai saat ini. Contoh sederhana saja, setiap tanggal 21 April pada jaman orde baru pasti diputar film Kartini karya Sjuman Djaya tersebut, maka mau tak mau sosok Kartini itu melekat kuat dalam ingatan saya, sebagai anak produk orde baru. Mungkin 10 tahun lagi sosok Kartini dalam visualisasinya dapat berubah dengan kreativitas anak jaman sekarang, mungkin 10 tahun lagi kita bisa menyaksikan Kartini dengan rok mini atau mungkin bahkan mengenakan bikin.