Thursday 21 October 2010

Etika Tak Tertulis Dalam Organisasi

Wuaah... akhirnya saya  bisa menyentuh blog saya lagi setelah sekian lama laptop saya error. Ada hal menarik yang ingin saya bagikan. Cerita ini belum lama berselang, ketika saya mengikuti rapat di sebuah organisasi dimana saya diperbantukan dalam event yang akan digelar awal Desember ini. Rapat dimulai agak terlambat dari jam yang sudah ditentukan, tapi saya enjoy saja karena memang sore itu saya tidak terlalu banyak kerjaan (baca: nganggur euy!)
Lanjut... singkat cerita rapat ddimulai dengan sedikit pengantar dari ketua panitia untuk pembukaan. Tiba giliran departemen acara untuk melaporkan perencanaan untuk acara dalam event tersebut. Koordinator departemen acara  adalah seorang teman saya, berjenis kelamin perempuan, dan masih duduk di bangku kuliah. Sementara dia melaporkan rencana acara event, tiba-tiba nada suaranya meninggi dan membuat peserta rapat lain terdiam. Dia komplain soal pemberitahuan rapat yang tiba-tiba (2 days before actually), serta persoalan teknis tapi cukup dasar dalam persoalan organisasi berkaitan dengan kapasitas tanggung jawab yang 'dilangkahi'oleh panitia inti.
Saya memahami bahwa persoalan ini cukup pelik terjadi sesuatu yang namanya miscommunication, dan saya juga menilai bahwa apa yang telah dilakukan oleh panitia inti memang melangkahi kapasitas mereka dan siapapun yang ada di posisi koordinator acara pasti akan tersinggung oleh penyalahan kewenangan yang (katanya) secara tidak sengaja mereka lakukan.
Poin yang ingin saya katakan sebenarnya bukan masalah miskom antara kedua belah pihak itu, melainkan persoalan menyampaikan pendapat di forum rapat. Saya kurang setuju dengan cara penyampaian yang 'menyerang'orang perseorangan di depan forum seperti rapat, apalagi masalahnya bukan masalah kepentingan bersama, tapi masalah antar departemen atau antar kewenangan saja. Cara teman saya menyampaikan pendapat dengan nada tinggi, kemudian melebar bukan hanya ke persoalan panitia tapi ke persoalan organisasi itulah yang menurut saya tidak tepat. Ada beberapa etika tidak tertulis yang harus dipahami dalam rapat bersama seperti itu.
Etika yang pertama adalah etika berbicara mengenai kesalahan orang lain. Setiap orang punya kelemahan sebagai manusia, dalam hal ini sebagai organisator. Kesalahan panitia inti adalah melangkahi kewenangan departemen acara, dan setelah dikonfirmasi ternyata hal ini disebabkan karena sebenarnya panitia inti tidak mengetahui bahwa untuk penentuan sesuatu hal ini merupakan kewenangan departemen acara. Jika ditelaah pemicu adanya miskom antara kedua belah pihak ini adalah panitia inti, seharusnya mereka melakukan konfirmasi pada departemen acara mengenai kesalahan yang mereka lakukan, sehingga persoalan bisa diluruskan sebelum rapat dimulai. Fatalnya, mereka tidak meng-konfirmasi sehingga persoalan diangkat ke forum oleh departemen acara. Departemen acara yang mengetahui penyalahan kewenangan sebelum rapat berlangsung, sebaiknya melakukan pembicaraan secara khusus dengan panitia inti, dan TIDAK membawa persoalan antar penanggungjawab ke forum luas seperti rapat besar.  
Persoalan kedua adalah menghargai waktu orang lain. Rapat dapat berlangsung karena ada waktu yang tersedia, yang telah diluangkan oleh setiap peserta rapat, dan dalam organisasi non-profit seperti organisasi ini, menyediakan waktu, tenaga serta pemikiran tanpa dibayar merupakan sesuatu yang menurut saya mulia, dan tidak semua orang bersedia meluangkannya. Jadi alangkah baiknya jika kita juga menghargai waktu, tenaga dan pemikiran orang lain dengan tidak membawa persoalan yang bukan kepentingan bersama ke dalam rapat besar yang akhirnya membuat waktu jadi terbuang sia-sia karena konflik ringan yang sempat terjadi dalam rapat (sekali lagi konflik itu bukan mengenai kepentingan bersama).
Persoalan ketiga adalah MOOD bersama, menyampaikan keberatan atau pendapat  dengan menyertakan emosi sangat tidak disarankan dalam etika rapat. Kita bisa lihat bersama, persoalan kecil di organisasi kecil seperti ini jika diandaikan persoalan di organisasi besar seperti DPR. Emosi yang terbawa saat menyampaikan pendapat memicu adanya konflik antara anggota dalam forum, yang menyebabkan mood bersama seperti dijatuhkan dari gunung Everest. Mood atau suasana hati sangat penting dalam sebuah rapat, ide dan pendapat bisa dengan lancar keluar kalau suasana rapat terjaga dengan baik. Pengalaman saya, suasana hati saya langsung rusak begitu ada konflik yang tidak pada tempatnya seperti rapat kali ini. Padahal saya telah meluangkan waktu, serta melakukan serangkaian riset kecil untuk konsep dan desain panggung. Akhirnya selama rapat berlangsung saya hanya diam saja, dan saya lihat peserta rapat yang lain juga enggan untuk berbicara dengan semangat. Seberapa besarpun usaha pihak bermasalah (yang tadinya berkonflik dan ternyata berhasil meluruskan ketidaksepahaman mereka di dalam forum) untuk membangkitkan suasana hati peserta yang sudah terlanjur rusak, suasana hati peserta tetap sulit untuk kembali seperti semula (apalagi untuk orang moody sejenis saya).
Etika-etika ini hanya sebagian kecil dari etika berorganisasi dan etika dalam rapat yang saya pikir  belum dapat dipahami oleh setiap orang, bahkan pihak sekelas DPR/MPR sekalipun. Hampir setiap rapat pembesar kita selalu berakhir dengan konflik internal antar anggota rapat atau antar fraksi yang dibawa ke forum besar seperti rapat rutin DPR. Dari apa yang saya lihat di wacana surat kabar seperti Koran Tempo edisi 20  Oktober 2010 sepertinya mereka menyadari kelemahan mereka dalam etika berbicara.

"Kita ingin mengetahui etika senator di sana, seperti tata cara berpakaian, tata cara berbicara kalau tidak sependapat"
Nudirman Munir, Wakil Ketua BK DPR

Lucu menurut saya, ketika DPR harus belajar etika sampai ke negeri Yunani sementara orang biasa seperti saya cukup aware dengan etika berbicara dalam rapat. Sebenarnya sederhana saja koq teman-teman dan saudara DPR yang terhormat, yang namanya etika itu selalu dibuat untuk kepentingan bersama. Salah satu tujuannya ya untuk menghindari 'kesia-siaan' waktu, tenaga dan pemikiran seperti yang telah saya ungkapkan diatas. Nah, implementasinya itu memang agak sulit, apalagi untuk orang melayu yang ekspresif dan emosional seperti bangsa Indonesia. Ekspresif itu bagus, tapi semua ada porsinya, seperti kata seorang sahabat saya.

Ya, semua ada porsinya, semua ada etikanya dan untuk kepentingan bersama, bukan kepentingan SAYA, KAMU, DIA atau MEREKA, tapi sekali lagi kepentingan BERSAMA.


wassalam
Yogya, 21 OKt'10

No comments:

Post a Comment