Thursday 21 October 2010

Review Jurnal Beyond the Four Theories of The Press: A New Model of National Media Systems


Pengantar
Hampir setiap karya ilmiah yang mengkaji  model perbandingan media massa dan komunikasi politik dimulai dengan penyebutan Siebert, Peterson, dan Schramm (1956) sebagai pencetus Empat Teori Pers yang ditulis sekitar lima puluh tahun yang lalu, tulisan Ostini dan Fung ini juga tidak terkecuali. Tulisan dari Ostini dan Fung terdiri dari dua bagian bertingkat, bahasan pertama menceritakan teori-teori yang sudah ada sebelumnya disertai dengan penjelasan mengenai kelemahan masing-masing teori menurut Ostini dan Fung. Bagian ini juga merupakan kajian mengenai konstruksi dan konsepsi model media, serta percobaan yang telah dilakukan untuk mengembangkan model baru yang mencakup sistem media global. Selanjutnya akan dikemukakan beberapa pemikiran untuk menguji model media ini dengan analisis isi dari berita di beberapa surat kabar multinasional pada peristiwa tertentu.

Teori - Teori Klasik Sistem Media
Sistem pers dunia telah dipetakan sebagai hasil kajian buku Four Theories of The Press oleh Fred S.Siebert, Theodore Peterson dan Wilbur Schramm, yang mengkategorikan teori-teori pers di dunia dalam empat teori pers ((Empat Teori Pers,1986:8). Sebenarnya terdapat pertanyaan mengenai empat teori pers yang klasik itu, apakah empat teori pers itu masih relevan dengan keadaan kekinian? Hal itu yang menjadi banyak perbincangan, perdebatan, diskusi sekarang ini. Hal ini disebabkan oleh tidak kontekstual dan relevannya empat teori pers itu dengan kondisi kekinian.
Berdasarkan penelitian Siebert, Peterson dan Schramm, empat teori pers berasal dari dua subdimensi berdasarkan sistem negara, yaitu otoritarian dan libertarian. Otoritarian merupakan sebuah model dimana media diawasi oleh negara karena daya pengaruhnya dinilai amat kuat. Model komunis-soviet menjadi sebuah aplikasi yang keras dari suatu bentuk dimensi otoritarian dimana media menjadi subordinat dari sistem yang dianut negara. Model tanggungjawab-sosial memiliki pemikiran bahwa media bertanggung jawab secara moral kepada masyarakat sehingga wajib memberikan informasi yang cukup untuk masyarakat agar masyarakat dapat membuat keputusan-keputusan berdasarkan informasi tersebut. Model libertarian menganggap bahwa masyarakat cukup cerdas untuk membedakan mana informasi yang baik dan mana yang tidak diperlukan, sehingga media dalam negara yang menganut model libertarian dibebaskan sebebas-bebasnya.
Pemikiran ketiga pakar tersebut dikritik oleh Ralph Lowenstein pada tahun 1971 dengan mengatakan bahwa teori-teori itu tidak fleksibel dan tidak dapat diaplikasikan pada semua sistem pers (Menil, 1991;16). Dia membagi lagi empat teori pers menjadi lima teori pers dengan menambahkan kategori berdasarkan kepemilikan. Istilah soviet-komunis diganti menjadi sosial-sentralis untuk mengeser nilai-nilai negatif dari istliah aslinya dan juga untuk memperluasnya. Istilah tanggungjawab-sosial diganti menjadi sosial-libertarian untuk merefleksikan akar-akar teori libertarian. Pada tahun 1979 ia merevisi bukunya sehingga sosial-sentralis menjadi sosial-otoritarian untuk memperjelas hubungan antara negara-negara blok timur dengan sistem otoritarian. Kemudian ia menambahkan satu model lagi yaitu sosial-sentralis.
Hatchen (1981) mengajukan lima konsep tipologi dalam bukunya “The World News Prism”. Kelima tipologi itu adalah otoritarian, kebaratan, komunis, revolusioner, dan development atau dunia ketiga. Akhavan-majid dan Wolf (1991) berargumen bahwa  kekurangan yang paling mendasar dari empat teori pers adalah teori tersebut mengabaikan peranan pengaruh ekonomi dalam sistem media. Mereka menyarankan model “Elite Power Group” sebagai tandingan dari model libertarian.
Picard (1985) mengkaji ulang teori-teori media sebelumnya dan menambahkan sebuah teori demokrasi-sosialis. Teori ini memperdebatkan tujuan pers untuk menyediakan kesempatan bagi publik untuk menyampaikan ekspresi sudut pandang mereka, serta menjadi bahan bakar dalam perdebatan politik dan sosial demi keberlangsungan dan perkembangan pemerintah demokrasi. Altschull (1984) dalam second law of journalism-nya, mengatakan “the content of the media always reflect the interest of those who finance them” (McQuail,2000:198). Ia menunjukkan adanya hubungan antara isi media dengan pihak-pihak yang mendanai (funding sources).
Isi media, menurut Altschull, merefleksikan kepentingan lembaga periklanan dan pihak-pihak yang memiliki media serta ideologi dari kelompok yang mendanai, bahkan orang secara individual pun berusaha mempengaruhi isi media dengan mempromosikan pandangan-pandangannya. Dia membagi sistem media dalam 3 kategori yaitu Sistem Pasar, Sistem Marxis (Communitarian) dan Sistem Berkembang.

Kritik Ostini dan Fung Terhadap Teori Klasik
Menurut Ostini dan Fung, masalah yang ada pada model-model sebelumnya adalah mereka berusaha untuk memberi penjelasan bukan menguraikan fenomena sosial dengan menyelidiki dan menggali lebih dalam berdasarkan data-data yang empiris. Siebert, dkk berfokus pada teori normatif berdasarkan struktur tradisional media massa. Picard secara ekslusif hanya memikirkan relasi antara negara dan pers. Jalannya media, laporan jurnalistik, dan keputusan editoria tidak sepenuhnya ditentukan oleh kondisi ekonomi (Williams, 1977), sehingga teori Akhavan-Majid dan Wolf dalam hal ini memiliki kelemahan.     
Dalam tipologi sistem pers yang baru, Ostini dan Fung (2002) menawarkan model baru didasarkan pada otonomi jurnalis profesional.  Pada model ini, jurnalis dikontekstualkan dan dibatasi oleh struktur pers dan kebijakan negara, tetapi berusaha untuk menunjukkan profesionalisme sebagai jurnalis dalam pengawasan negara.  Berdasakan interaksi sistem negara  dan nilai-niai profesional jurnalistik, tipologi digolongkan menjadi empat yaitu demokratis-konservatif, demokratis-liberal, konservatif-otoriter  dan otoriter-liberal.

Sebuah Model Baru
Model ini menambahkan dua karakteristik jurnalis dalam menentukan sistem media sebuah negara, selain sistem politik negara tersebut. Karakteristik jurnalis tersebut adalah konservatif dan liberal. Konservatif dijelaskan sebagai jurnalis yang menentang laju perubahan, penolakan akan perbedaan yang terlalu jauh, dan mendukung status quo masyarakat. Liberalisme digambarkan sebagai jurnalis yang mendukung perubahan sosial dan reformasi, individualisme, kompetisi, dan kebebasan berbicara (McQuail, 1994).
Sistem media demokratis-konservatif adalah sistem media dimana sistem politik yang dianut adalah demokrasi sementara nilai yang dianut oleh jurnalis adalah konservatif. Demokratis-liberal merupakan sistem media yang didukung oleh sistem politik demokratis serta nilai liberal yang dianut jurnalis. Sistem otoritarian-konservatif yaitu negara memiliki kontrol atas isi media dan nilai yang dianut jurnalis mendukung adanya batasan aturan tersebut. Ketika negara menganut sistem otoritarian, sedangkan jurnalis menganut paham liberal inilah yang disebut dengan otoritarian-liberal.

Studi Kasus
Studi kasus mengambil 4 negara sebagai contoh yaitu Hongkong, Jepang, Cina dan US, metodenya adalah dengan melakukan analisis wacana disurat kabar keempat negara tersebut dengan periode analisis 1 September - 30 September 1996.  Sampelnya adalah 7 surat kabar di Hongkong (South China Morning Post, Oriental Daily, Ming Pao, Ta Kung Pao, Apple Daily, dan Hongkong Economic Journal), 2 surat kabar Jepang (Asahi Evening News dan Japan Times), 1 surat kabar Cina (China Daily), 5 surat kabar US (NY Times, Wall Street Journal, The Minneapolis, The Associated Press, dan The Financial Times-Scripps Howard News Service.
Pola persandian dibuat untuk menentukan sikap umum (kecenderungan) dari artikel; tema artikel; pertimbangan artikel pada isu terkait; siapa yang dipertimbangkan sebagai aktor utama; tingkat keterlibatan aktor (internasional, pemerintah, individual, dst); dan solusi. Kasus yang diangkat adalah perdebatan Jepang dan Cina dalam sengketa kepemilikan pulau Diaoyu atau Senkaku yang terletak di sebelah timur laut Cina. Perdebatan ini memicu reaksi dari masyarakat sipil di Taiwan, Jepang, Cina dan Hongkong. Adanya sengketa antar negara melibatkan maslah militerisme dan nasionalisme yang diharapkan dapat menunjukkan pandangan yang dianut oleh jurnalis pada masing-masing negara. Dengan model yang sebelumnya hasil analisa sistem media adalah sebagai berikut:

Dengan menggunakan model Ostini&Fung, dan dengan disertai analisis wacana, hasilnya sebagai berikut:

Jepang merupakan negara dengan sistem politik demokratis dan nilai yang dianut jurnalis adalah konservatif, sehingga termasuk dalam negara dengan sistem media demokratis-konservatif. Cina sangat jelas sistem politiknya adalah otoritarian, dengan pandangan jurnalisme konservatif (otoritarian-konservatif). Jurnalis Hongkong dan US menganut paham atau pandangan yang sama yaitu liberal, sementara perbedaannya terletak pada sistem politik masing-masing negara. Hongkong adalah otoritarian-liberal, sedangkan US demokratis –liberal.

Opini Peninjau Jurnal
J. Ostini dan A. Fung menunjuk pada idealisme dan overestimasi dari peran ekonomi politik dalam "Empat Teori Pers", mereka mengusulkan untuk "Menggunakan model untuk menggabungkan nilai-nilai jurnalistik dan sistem negara(...). Model baru ini menggabungkan dimensi otonomi individu jurnalistik dan struktur kebijakan negara. Dengan demikian meningkatkan pemahaman tentang sistem pers  dan masyarakat di mana sistem ini ada ". (hlm 54-55)
Ostini dan Fung mencoba menjembatani faktor struktural dan profesional media dengan memasukkan konstruksi realitas individu jurnalis sendiri. Para teoretikus mengkritik satu sama lain berbagai kelemahan teori mereka. Ostini dan Fung merangkum semua masalah teori secara makro, memberi penjelasan bukan menggambarkan, dengan asumsi pers berevolusi secara natur, dan hanya mengakui kebenaran tunggal (Ostini & Fung, 2002, hal.6). Model Ostini dan Fung sendiri mengabaikan lingkungan new media, dengan melakukan analisis wacana pada surat kabar saja. Namun, model Ostoni dan Fung tidak memiliki pembenaran teoritis untuk penempatan nilai-nilai profesional individu dan keyakinan sebagai faktor independen dari unit media dan struktur politik.Terakhir, Ostini-Fung mengabaikan nilai mikro seperti nilai historis, sebagai contoh Hongkong merupakan persemakmuran Ingrris selama 150 tahun. Inggris menganut paham liberal (ingat paparazzi Inggris!), sehingga meskipun Hongkong menganut sistem politik Otoritarian, tidak bisa diabaikan bahwa paham libertarian dari Inggris ikut mempengaruhi pers, jurnalis dan sistem media yang berlaku di negara tersebut.



Simak
Baca secara fonetik



Simak
Baca secara fonetik

Etika Tak Tertulis Dalam Organisasi

Wuaah... akhirnya saya  bisa menyentuh blog saya lagi setelah sekian lama laptop saya error. Ada hal menarik yang ingin saya bagikan. Cerita ini belum lama berselang, ketika saya mengikuti rapat di sebuah organisasi dimana saya diperbantukan dalam event yang akan digelar awal Desember ini. Rapat dimulai agak terlambat dari jam yang sudah ditentukan, tapi saya enjoy saja karena memang sore itu saya tidak terlalu banyak kerjaan (baca: nganggur euy!)
Lanjut... singkat cerita rapat ddimulai dengan sedikit pengantar dari ketua panitia untuk pembukaan. Tiba giliran departemen acara untuk melaporkan perencanaan untuk acara dalam event tersebut. Koordinator departemen acara  adalah seorang teman saya, berjenis kelamin perempuan, dan masih duduk di bangku kuliah. Sementara dia melaporkan rencana acara event, tiba-tiba nada suaranya meninggi dan membuat peserta rapat lain terdiam. Dia komplain soal pemberitahuan rapat yang tiba-tiba (2 days before actually), serta persoalan teknis tapi cukup dasar dalam persoalan organisasi berkaitan dengan kapasitas tanggung jawab yang 'dilangkahi'oleh panitia inti.
Saya memahami bahwa persoalan ini cukup pelik terjadi sesuatu yang namanya miscommunication, dan saya juga menilai bahwa apa yang telah dilakukan oleh panitia inti memang melangkahi kapasitas mereka dan siapapun yang ada di posisi koordinator acara pasti akan tersinggung oleh penyalahan kewenangan yang (katanya) secara tidak sengaja mereka lakukan.
Poin yang ingin saya katakan sebenarnya bukan masalah miskom antara kedua belah pihak itu, melainkan persoalan menyampaikan pendapat di forum rapat. Saya kurang setuju dengan cara penyampaian yang 'menyerang'orang perseorangan di depan forum seperti rapat, apalagi masalahnya bukan masalah kepentingan bersama, tapi masalah antar departemen atau antar kewenangan saja. Cara teman saya menyampaikan pendapat dengan nada tinggi, kemudian melebar bukan hanya ke persoalan panitia tapi ke persoalan organisasi itulah yang menurut saya tidak tepat. Ada beberapa etika tidak tertulis yang harus dipahami dalam rapat bersama seperti itu.
Etika yang pertama adalah etika berbicara mengenai kesalahan orang lain. Setiap orang punya kelemahan sebagai manusia, dalam hal ini sebagai organisator. Kesalahan panitia inti adalah melangkahi kewenangan departemen acara, dan setelah dikonfirmasi ternyata hal ini disebabkan karena sebenarnya panitia inti tidak mengetahui bahwa untuk penentuan sesuatu hal ini merupakan kewenangan departemen acara. Jika ditelaah pemicu adanya miskom antara kedua belah pihak ini adalah panitia inti, seharusnya mereka melakukan konfirmasi pada departemen acara mengenai kesalahan yang mereka lakukan, sehingga persoalan bisa diluruskan sebelum rapat dimulai. Fatalnya, mereka tidak meng-konfirmasi sehingga persoalan diangkat ke forum oleh departemen acara. Departemen acara yang mengetahui penyalahan kewenangan sebelum rapat berlangsung, sebaiknya melakukan pembicaraan secara khusus dengan panitia inti, dan TIDAK membawa persoalan antar penanggungjawab ke forum luas seperti rapat besar.  
Persoalan kedua adalah menghargai waktu orang lain. Rapat dapat berlangsung karena ada waktu yang tersedia, yang telah diluangkan oleh setiap peserta rapat, dan dalam organisasi non-profit seperti organisasi ini, menyediakan waktu, tenaga serta pemikiran tanpa dibayar merupakan sesuatu yang menurut saya mulia, dan tidak semua orang bersedia meluangkannya. Jadi alangkah baiknya jika kita juga menghargai waktu, tenaga dan pemikiran orang lain dengan tidak membawa persoalan yang bukan kepentingan bersama ke dalam rapat besar yang akhirnya membuat waktu jadi terbuang sia-sia karena konflik ringan yang sempat terjadi dalam rapat (sekali lagi konflik itu bukan mengenai kepentingan bersama).
Persoalan ketiga adalah MOOD bersama, menyampaikan keberatan atau pendapat  dengan menyertakan emosi sangat tidak disarankan dalam etika rapat. Kita bisa lihat bersama, persoalan kecil di organisasi kecil seperti ini jika diandaikan persoalan di organisasi besar seperti DPR. Emosi yang terbawa saat menyampaikan pendapat memicu adanya konflik antara anggota dalam forum, yang menyebabkan mood bersama seperti dijatuhkan dari gunung Everest. Mood atau suasana hati sangat penting dalam sebuah rapat, ide dan pendapat bisa dengan lancar keluar kalau suasana rapat terjaga dengan baik. Pengalaman saya, suasana hati saya langsung rusak begitu ada konflik yang tidak pada tempatnya seperti rapat kali ini. Padahal saya telah meluangkan waktu, serta melakukan serangkaian riset kecil untuk konsep dan desain panggung. Akhirnya selama rapat berlangsung saya hanya diam saja, dan saya lihat peserta rapat yang lain juga enggan untuk berbicara dengan semangat. Seberapa besarpun usaha pihak bermasalah (yang tadinya berkonflik dan ternyata berhasil meluruskan ketidaksepahaman mereka di dalam forum) untuk membangkitkan suasana hati peserta yang sudah terlanjur rusak, suasana hati peserta tetap sulit untuk kembali seperti semula (apalagi untuk orang moody sejenis saya).
Etika-etika ini hanya sebagian kecil dari etika berorganisasi dan etika dalam rapat yang saya pikir  belum dapat dipahami oleh setiap orang, bahkan pihak sekelas DPR/MPR sekalipun. Hampir setiap rapat pembesar kita selalu berakhir dengan konflik internal antar anggota rapat atau antar fraksi yang dibawa ke forum besar seperti rapat rutin DPR. Dari apa yang saya lihat di wacana surat kabar seperti Koran Tempo edisi 20  Oktober 2010 sepertinya mereka menyadari kelemahan mereka dalam etika berbicara.

"Kita ingin mengetahui etika senator di sana, seperti tata cara berpakaian, tata cara berbicara kalau tidak sependapat"
Nudirman Munir, Wakil Ketua BK DPR

Lucu menurut saya, ketika DPR harus belajar etika sampai ke negeri Yunani sementara orang biasa seperti saya cukup aware dengan etika berbicara dalam rapat. Sebenarnya sederhana saja koq teman-teman dan saudara DPR yang terhormat, yang namanya etika itu selalu dibuat untuk kepentingan bersama. Salah satu tujuannya ya untuk menghindari 'kesia-siaan' waktu, tenaga dan pemikiran seperti yang telah saya ungkapkan diatas. Nah, implementasinya itu memang agak sulit, apalagi untuk orang melayu yang ekspresif dan emosional seperti bangsa Indonesia. Ekspresif itu bagus, tapi semua ada porsinya, seperti kata seorang sahabat saya.

Ya, semua ada porsinya, semua ada etikanya dan untuk kepentingan bersama, bukan kepentingan SAYA, KAMU, DIA atau MEREKA, tapi sekali lagi kepentingan BERSAMA.


wassalam
Yogya, 21 OKt'10

Thursday 30 September 2010

Demokrasi Langsung: Sebuah Ideologi Global dari Pemberdayaan Publik


Demokrasi secara langsung pada hakikatnya hampir mustahil untuk diterapkan pada saat ini. Demokrasi langsung berarti rakyat memerintah dirinya secara langsung, tanpa perantara. Salah satu pendukung demokrasi langsung adalah Jean Jacques Rousseau, di mana Rousseau ini mengemukakan 4 kondisi yang memungkinkan bagi dilaksanakannya demokrasi langsung yaitu :
  • Jumlah warganegara harus kecil.
  • Pemilikan dan kemakmuran harus dibagi secara merata (hampir merata).
  • Masyarakat harus homogen (sama) secara budaya.
  • Terpenuhi di dalam masyarakat kecil yang bermata pencaharian pertanian.
Pertanyaan kemudian adalah: Mungkinkan keadaan yang digambarkan Rousseau itu ada di era negara modern saat ini? Jumlah warganegara negara-negara di dunia rata-rata berada di atas jumlah 1-2 juta jiwa, pemilikan harta sama sekali tidak merata, secara budaya masyarakat relatif heterogen (beragam) yang ditambah dengan infiltrasi budaya asing, dan pencaharian penduduk dunia tengah beralih dari pertanian ke industri. Masih mungkinkah demokrasi langsung dilaksanakan?
Di dalam demokrasi langsung, memang kedaulatan rakyat lebih terpelihara oleh sebab kekuasaannya tidak diwakilkan. Semua warganegara ikut terlibat di dalam proses pengambilan keputusan, tanpa ada yang tidak ikut serta. Namun, di zaman pelaksanaan demokrasi langsung sendiri, yaitu di masa negara-kota Yunani Kuno, ada beberapa kelompok masyarakat yang tidak diizinkan untuk ikut serta di dalam proses demokrasi langsung yaitu: budak, perempuan, dan orang asing.
Dengan alasan kelemahan demokrasi langsung, terutama oleh ketidakrealistisannya untuk diberlakukan dalam keadaan negara modern, maka demokrasi yang saat ini dikembangkan adalah demokrasi perwakilan. Di dalam demokrasi perwakilan, tetap rakyat yang memerintah. Namun, itu bukan berarti seluruh rakyat berbondong-bondong datang ke parlemen atau istana negara untuk memerintah atau membuat UU.
Rakyat terlibat secara ‘total’ di dalam mekanisme pemilihan pejabat (utamanya anggota parlemen) lewat Pemilihan Umum periodik (misal: 4 atau 5 tahun sekali). Dengan memilih si anggota parlemen, rakyat tetap berkuasa untuk membuat UU, akan tetapi keterlibatan tersebut melalui si wakil. Wakil ini adalah orang yang mendapat delegasi wewenang dari rakyat. Di Indonesia, 1 orang wakil rakyat (anggota parlemen) kira-kira mewakili 300.000 orang pemilih.
Dengan demokrasi perwakilan, rakyat tidak terlibat secara penuh di dalam membuat UU negara. Misalnya saja, dari hampir 200 juta jiwa warganegara Indonesia, proses pemerintahan demokrasi di tingkat parlemen hanya dilakukan oleh 500 orang wakil rakyat yang duduk menjadi anggota DPR. Bandingkan apabila Indonesia menerapkan demokrasi langsung di mana 200 juta rakyat Indonesia duduk di parlemen. Hasilnya pasti akan kacau memakan biaya mahal. Dengan kenyataan ini maka demokrasi perwakilan lebih praktis ketimbang demokrasi langsung.
Kembali ke pertanyaan awal berdasarkan kepercayaan Rousseau, dapatkah demokrasi langsung dilaksanakan? Pada tahun 1990-an istilah ‘Information Superhighway’ santer terdengar di media cetak dan berita. Media memberitakan betapa cepat dan tak terbatas informasi yang dibawa oleh media jenis baru ini. Saat ini media ini dikenal dengan sebutan internet. Sebelum melangkah jauh pada tulisan ini penulis meyakini bahwa pada saat Carveth, Owers dan Alexander menulis The Economics of Online Media, koneksi internet melalui wireless fired (wi-fi) belum ditemukan sehingga mereka hanya menyebut internet sebagai cable industry. Saat ini, lebih dari 10 tahun sejak tulisan The Economics of Online Media dibuat, begitu cepat dan banyaknya perubahan yang terjadi pada media online atau new media ini.
Perkembangan dunia Online juga terbagi atas tiga tahap. Tahap pertama adalah penemuan jejaring online tersebut, para penemunya disebut dengan ‘the Pioneers’. Sebagian besar dari mereka adalah ilmuwan dan teknisi yang prihatin dengan dengan kebutuhan di bidang pertahanan Negara. Tidak heran jika lahirnya internet, yang diawali dengan lahirnya intranet terjadi di pusat pertahanan terbesar di Amerika Serikat, yaitu di gedung Pentagon. Ide awal dari internet adalah intranet, dimana sebuah komputer dapat terkoneksi dengan komputer yang lain, sehingga dimungkinkan adanya file transfer atau pertukaran data dan informasi. Proyek besar ini didukung oleh ARPA (Advanced Research Projects Agency), sebuah lembaga pemerintah AS yang menangani riset berskala besar.
Tahap kedua adalah hadirnya ’the settlers’, yaitu para akademisi dan ilmuwan yang menggunakan teknologi ini untuk berbagi sumber, seperti pada file transfer dan berkomunikasi satu dengan yang lain. Tujuan utama dari ’the settlers’ yaitu untuk dapat berkomunikasi dengan sesama ’Cybernauts’ atau ’penggila online’ yaitu mereka yang tertarik untuk membangun komunitas di dunia maya. Mungkin ’the settlers’ inilah yang membuat Facebook menjadi jejaring sosial terbesar saat ini.   
Tahap ketiga adalah hadirnya ’people of capital’. Setelah ditolak selama 10 tahun, yaitu dari tahun 1980, pada tahun 1990 mereka kembali untuk memperoleh keuntungan melalui dunia maya. Caranya adalah dengan menggunakan videotex (teks yang ditransmisikan secara online) dan ditampilkan pada layar komputer (Major, 1990). Akan tetapi, konsumen mulai memanfaatkan videotex ini secara meluas pada tahun 1994.
Internet ada di balik keberhasilan pemilihan umum para pemimpin negara di dunia. SBY memanfaatkan internet sebagai salah satu alat sosialisasi dan  kampanye. Amerika memiliki sejarah yang lebih fantastis dalam kampanye pemilihan presiden. Jika dahulu Franklin Delano Roosevelt menggunakan radio dan John F Kennedy memanfaatkan televisi untuk menggapai kemenangan. Kini Barack Obama menggunakan internet sebagai media sosial, menyapa masyarakat akar rumput melalui teknologi komunikasi yang berkembang amat pesat.
Barack Obama menoreh sejarah dengan memanfaatkan internet untuk menjaring pendukung dalam kampanye-kampanyenya dan mengumpulkan dana secara online. Barack Obama memiliki situs-situs jejaring sosial yang populer tidak hanya di Amerika Serikat, tetapi juga di banyak negara di dunia, mulai dari Facebook, My Space, Linkedin, You Tube, Friendster, hingga Twitter.
Obama, seorang senator dari Illinois, mampu mengalahkan Hillary Clinton, Senator New York, saat konvensi Partai Demokrat. Kini dia menang atas John McCain dari Partai Republik dalam pemilihan 4 November. Saat pertarungannya dengan Hillary, Obama mengantongi dana 38 juta dollar AS selama kampanye dan hanya berutang 2 juta dollar AS. Adapun Hillary hanya memperoleh 6 juta dollar AS dan utangnya untuk kampanye membengkak 21 juta dollar AS. Obama memanfaatkan internet untuk memperoleh sumbangan dana kampanye lewat online hanya 5 dollar AS per orang, tetapi disumbang oleh jutaan orang. Hillary masih menggunakan pola lama berkampanye, termasuk mencari dana. Hillary melupakan faktor kunci dalam dunia baru politik di AS, yaitu jejaring sosial. Ibaratnya, Hillary masih menggunakan AOL, Obama sudah memanfaatkan jejaring sosial Facebook. Hillary masih PC, Obama sudah sebuah Mac. (www.kompas.co.id, 6 November 2008)
Internet telah menjadi gaya hidup masyarakat jaman sekarang. Penulis menghitung kira-kira dalam sehari seseorang mengakses situs facebook miliknya sebanyak 5-10 kali. Teknologi Smartphone mendukung akses internet di mana pun dan kapan pun. Apabila diamati pelaku usaha internet juga tidak jauh berbeda dari 10 tahun lalu, ketika 10 tahun lalu AT&T ikut ambil bagian dalam sejarah videotex di Amerika Serikat, saat ini sebagian produknya telah merajai pasar internasional. Produk berupa smartphone yang dinamakan Blackberry itu telah dikenal oleh masyarakat luas dan menjadi salah satu gadget andalan untuk akses internet.
Pemaparan mengenai internet diatas telah memberikan sebuah gambaran jawaban atas kemungkinan dilaksanakannya demokrasi langsung. Teknologi internet ini memungkinkan terwujudnya demokrasi langsung. Indonesia merupakan salah satu negara yang berpenduduk besar dengan tingkat konsumsi internet yang rendah. Dikatakan rendah karena bila dibandingkan rasio penggunaan internet oleh penduduk Indonesia yang sekitar 20 juta orang dengan jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 200 juta orang lebih, maka perbandingannya hanya sekitar 10 %. Tentu hal ini merupakan hal yang potensial bagi industri komunikasi untuk menggarap wilayah Indonesia agar lebih banyak lagi menggunakan internet nantinya. Lagipula pemerintah Indonesia sudah getol untuk mengenalkan internet hingga ke pelosok-pelosok desa dengan harapan informasi dari pusat ke daerah bisa sampai dengan cepat. Sehingga, pertumbuhan dan pembangunan masyarakat desa bisa lebih cepat terjadi. Ini cita-cita yang harus diapresiasi tentunya.   
Indonesia tampaknya tidak main-main dengan rencana ini. Pemerintah sudah mengeluarkan program agar semua desa bisa dijangkau internet. Program ini sendiri bertajuk program “desa pinter” atau desa pakai internet. Program “desa pinter” mulai dicanangkan sejak Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I, tepatnya pada saat M. Nuh menjabat sebagai Menkominfo. Program Kerja Desa Pinter bertujuan untuk membangun seluruh desa di Indonesia yang mampu mengakses informasi. Rencananya, program ini akan mencakup 5.738 desa dimana masing-masing 1 desa memiliki 1 komputer. Dana awal yang dianggarkan untuk Desa Pinter adalah sebesar 1,4 triliun.
Program ini merupakan proyek jangka panjang dimana SBY mencanangkan tahun 2010, seluruh desa terhubung dengan infrastruktur telepon dan internet.(+/- 62.000 desa dan 5.000 kecamatan seluruh Indonesia). M.Nuh mengklaim sudah berjalan sebesar 50 persen lebih  (lebih dari 31.000 desa) namun belum menjangkau wilayah Indonesia Timur.
Program “desa pinter” ini kemudian dilanjutkan oleh Menkominfo Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, Tifatul Sembiring. Beliau mencanangkan program 100 hari, dimana  direncanakan 100 desa menjadi prioritas masuknya komputer dan 25.000 desa terhubung saluran telepon. Rencana anggaran program 100 hari ini pada tahun pertama yaitu sebesar 370,5 miliar. Sebagai langkah awal akan dilaksanakan beberapa program pendukung yaitu pembangunan USO (Universal Service Obligation), Community Access Point, dan pembangunan proyek Palapa Ring.
Proyek USO bertujuan untuk mengurangi kesenjangan akses telekomunikasi di daerah-daerah, termasuk daerah terpencil, dan telah diluncurkan program penyediaan layanan fasilitas telelomunikasi untuk 31.824 SST di tingkat perdesaan, dengan target pencapaian seluruh desa dapat berdering pada tahun 2010.
Community Access Point merupakan pembentukan sentra-sentra layanan informasi masyarakat di seluruh wilayah Indonesia dengan penyediaan teknologi informasi dan infrastruktur di berbagai pelosok tanah air melalui pembangunan dan pengembangan. Proyek pembangunan yang terakhir, Palapa Ring merupakan program pemerintah membangun jaringan serat optik internasional yang terdiri atas 7 cincin untuk meningkatkan dan memeratakan ketersediaan infrastruktur telekomunikasi sehingga melingkupi 33 ibukota propinsi dan 460 kabupaten/440 kabupaten kota di seluruh Indonesia termasuk wilayah timur. (sudah ditandatangani SBY tanggal 30 November 2009 lalu).
Program desa Pinter ini bertujuan untuk mengurangi jurang perbedaan antara kota dan desa akan ketersediaan informasi. Hal ini berkaitan dengan information literacy (melek informasi). Selama ini harus diakui ada jurang atau gap informasi yang diterima antara masyarakat desa dengan perkotaan. Maka, ada keyakinan dari pemerintah bahwa pembangunan bisa dipercepat salah satunya dengan ketersediaan informasi. Informasi bisa bermacam-macam tentunya mulai tentang apa saja yang sudah terjadi di sekitar masyarakat pedesaan maupun kota-kota besar seperti perubahan politik, ekonomi, permasalahan sosial budaya, hingga informasi yang tidak penting bagi masyarakat seperti gossip dan infotainment.  Ketersediaan informasi bisa menjadi stimulan bagi masyarakat pedesaan misalnya untuk mulai berfikir bahwa keadaan terus berubah sehingga mau tidak mau mendorong mereka juga untuk berfikir lebih maju (namun bukan berarti pula berfikir seperti orang kota). Misalnya, agar mereka mengerti dengan hak-haknya sebagai warga negara untuk mendapatkan fasilitas, jaminan kesehatan, hak mereka untuk berpartisipasi dalam politik, dll yang mungkinselama ini tidak mereka sadari.
Ketersediaan Informasi di masyarakat selama ini terkendala banyak hal terutama oleh sarana dan fasilitas. Belum adanya saluran komunikasi seperti telepon sering terkendala karena jaringan telepon belum terpasang, belum banyaknya kantor-kantor yang memiliki fasilitas internet di pedesaan terkendala dengan listrik yang masih minim. Selama ini fasilitas komunikasi di pedesaan terkadang masih bergantung pada koran masuk desa, televisi, atau bahakan yang lebih parah lagi masih melalui masjid untuk daerah yang terpencil. Tentunya fasilitas- fasilitas komunikasi ini juga harus mepertimbangkan fasilitas-fasilitas penunjang lainnya seperti listrik, transportasi, dll.
         Masuknya teknologi harus membawa kemanfaatan salah satunya memberdayakan masyarakat. Masyarakat harus mampu mulai dari memikirkan dan menterjemahkan apa yang menjadi kebutuhannya hingga berdaya untuk mengusahakan terpenuhinya kebutuhan tersebut. Keadaan masyarakat pedesaan Indonesia saat ini masih belum merata dan beragam. Sebagian masyarakat pedesaan mungkin sudah ada yang mampu menemukan apa yang menjadi kebutuhan dirinya dan  bersama  sehingga mampu pula bersuara untuk menyampaikan kepada pihak yang terkait (dalam hal ini pemerintah daerah) untuk dipenuhinya kebutuhan tersebut atau secara swadaya memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Terkadang masih sulit untuk menterjemahkan kebutuhannya termasuk sulit untuk mengusahakan terpenuhinya kebutuhan tersebut. Diharapkan dengan adanya fasilitas teknologi internet ini, masyarakat berdaya untuk menterjemahkan kebutuhannya dan mengusahakan terpenuhinya kebutuhan tersebut. Tapi masih sulit tentunya untuk melihat secara riil bagaimana pemberdayaan yang nanti bisa terwujud bila internet masuk desa ini sudah terlaksana seluruhnya. Apakah seperti yang sudah disebutkan di awal yaitu  petani di pedesaan memasarkan padinya lewat email atau nelayan memasang foto ikan hasil tangkapannya untuk dijual melalui account facebooknya. . Bahkan, transaksi pun mungkin tidak lagi berupa pembayaran tunai melainkan transfer melalui telepon seluler dengan fasilitas e-banking.
Selain dari esensi pentingnya program ini ada kesulitan lain yang biasa menjadi kesulitan dalam pelaksanaan program-program pemerintah. Kesulitan tersebut adalah buruknya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, berkaitan internet masuk desa salah satunya di Riau dimana masih ada daerah yang tidak memiliki jaringan. Hal lain yang penting untuk diperhatikan adalah sosialisasi penggunaan baru dilakukan setelah infrastruktur dibangun secara merata. Sosialisasi sering menjadi permasalahan karena pusat dan daerah tidak berkoordinasi. Pusat sering memberikan kebijakan kepada daerah tanpa diikuti petunjuk-petunjuk pelaksanaan dari pusat. Memang sebagai konsekuensi desentralisasi, daerah memiliki hak untuk mengatur permasalahan di daerah. Namun tetap diperlukan sosialisasi terlebih dahulu kepada daerah dan masyarakat luas bahwa ada program tertentu yang tujuannya tertentu pula. Sehingga pusat pun bisa mengetahui mengenai potensi didaerah dan masalah daerah masing-masing.  Apalagi, pengawasan pun rencananya akan diserahkan ke desa masing-masing (self regulating). Perlu ada pemantauan yang berkala mengenai efektifitas program ini kedepannya bila sudah benar-benar terlaksana. 
            Bagaimana dengan demokrasi langsung? Tentu saja mungkin untuk terwujud apabila pemerintah benar-benar berkomitmen dalam program ini. Internet adalah sarana penunjang yang cukup tepat untuk membangun e-government atau pemerintahan secara elektronis (internet). Melalui situs e-government, pemerintah dapat merangkul masyarakat yang majemuk. Demikian pula masyarakat dapat berkomunikasi langsung dengan pemerintah. Apabila situs-situs pemerintah yang sudah ada saat ini dimanfaatkan secara maksimal, tidak mustahil demokrasi langsung dapat terwujud. Jangan hanya menggunakan internet untuk berkampanye saja, tapi manfaatkanlah internet untuk memahami, melayani dan memberdayakan masyarakat.

O P I N I P U B L I K : Kasus Cicak, Buaya dan Century Gate




“Kalau ada orang berprasangka, saya tidak boleh marah, karena kedudukan ini memang strategis. Tapi saya menyesal, kok masih ada orang yang goblok, sesuatu yang tidak mungkin bisa ia kerjakan kok dicari-cari. Jika dibandingkan, ibaratnya, di sini buaya di situ cicak. Cicak kok melawan buaya. Apakah buaya marah? Enggak, Cuma menysal. Cicaknya masih bodoh saja. Kita itu yang memintarkan, tapi kok sekian tahun nggak pinter-pinter. Dikasih kekuasaan kok malah mencari sesuatu yang enggak akan dapat apa-apa.” (Pernyataan Susno Duaji pada sebuah stasiun televisi)
Demikianlah pernyataan Susno Duaji mengenai perseteruan antara POLRI dan KPK. Pernyataan bermuatan emosi yang cukup tinggi ini dikeluarkan pada saat Susno masih menjabat sebagai Kabareskrim POLRI. Sepertinya istilah "Cicak vs Buaya" akan mengukir sejarah tersendiri di Indonesia. Masih hangat di ingatan kita, betapa ramainya minat masyarakat akan kasus yang ada dibalik  istilah tersebut.  Berbagai element massa membuat kelompok-kelompok untuk mendukung salah satu pihak. Gerakan mereka baik di lapangan bahkan sampai di dunia maya.
Peristiwa Cicak vs Buaya ini bermula ketika terjadi penyadapan telepon Kepala Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Kepolisian RI, Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji. Penyadapan diduga karena kasus penanganan Bank Century. Polisi lalu memeriksa Wakil Ketua KPK Chandra Hamzah lantaran disebut-sebut  melakukan penyadapan tak sesuai prosedur dan ketentuan. Pemeriksaan Chandra dituding untuk melumpuhkan lembaga KPK tersebut. Selanjutnya wartawan Tempo Anne L. Handayani, Ramidi, dan Wahyu Dhyatmika datang menemui Susno Duadji di ruang kerjanya mengadakan wawancara untuk klarifikasi masalah tersebut, dan terlontarlah pernyataan seperti disebut diatas.
Media memiliki peranan besar terhadap kepopuleran istilah Cicak vs Buaya ini. Media cetak dan elektronik tidak henti-hentinya memberitakan perkembangan kasus ini, serta menambah kepopuleran istilah cicak vs buaya. Pers (media cetak dan elektronik) dalam pemberitaannya berkaitan dengan kasus ini seringkali ditemukan agak berat sebelah. Beberapa pembaca berita dan jurnalis menyatakan dukungannya secara tersirat pada pihak KPK. Bernard C. Cohen dalam Advance Newsgathering menyebutkan bahwa peran yang dijalankan pers adalah sebagai pelapor (informer), dimana pers bertindak sebagai mata dan telinga publik untuk melaporkan peristiwa-peristiwa yang di luar pengetahuan masyarakat dengan netral dan tanpa prasangka. 
            Media lain yang turut menggulirkan perseteruan cicak vs buaya adalah New Media atau Internet. Telah disampaikan sebelumnya bahwa melalui komunitas dunia maya, seorang presiden Indonesia dapat ditekan untuk mengeluarkan kebijakan dengan cepat. Komunitas pendukung Bibit-Chandra (KPK) salah satunya ada pada jejaring sosial Facebook. Komunitas ini berjudul ‘Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto’. Anggotanya saat ini berjumlah 1.419.940 facebookers. Komunitas ini diprakarsai oleh Usman Yasin dari Yayasan Lembak Bengkulu. Forum ini dibuat tandingannya oleh Nurkhoiri dengan Satu triliun manusia dukung polri dalam kasus penahanan Chandra Hamzah dan Bibit, sampai saat ini anggotanya berjumlah 47.138  facebookers, selisih angka dukungan yang cukup jauh terpaut antara kedua forum tersebut. (Data dapat diakses lewat facebook)
Susno Duaji dalam kasus ini adalah sebagai pemrakarsa atau faktor pecetus lahirnya istilah cicak vs buaya yang mewakili bentuk perseteruan antara dua lembaga besar yaitu KPK dan POLRI. McQuail dalam bukunya (Teori Komunikasi Massa) mengatakan bahwa masyarakat modern beralih pada masyarakat informasi. Media massa merupakan perangsang penting terhadap penilaian dan konsumsi informasi. Dia menilai bahwa potensi perubahan revolusioner tidak terletak pada isi pesan, tetapi pada sarana produksi dan pendayagunaan pesan selanjutnya, termasuk nilai-nilai dalam masyarakat.[1]  Masyarakat dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna, tidak hanya sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi oleh media massa (McQuail, 1997:19). Demikian pesan cicak vs buaya telah berkembang sedemikian rupa dalam pemikiran masyarakat, membentuk sebuah opini publik di luar kehendak dan maksud si penyampai pesan (Susno Duaji).
Tanggapan masyarakat akan kasus ini segera menjadi luar biasa, opini publik tercipta dimana publik menilai Cicak sebagai pihak lemah yang perlu dibela. Pernyataan cicak vs buaya menjadi bumerang bagi pihak kepolisian. POLRI yang dianalogikan dengan istilah buaya dinilai negatif oleh masyarakat. Buaya kerap dikonotasikan dengan hewan besar yang buas, rakus, kejam, dan serakah. Tidak dapat disalahkan ketika akhirnya masyarakat menilai lembaga kepolisian memiliki sifat serupa. Padahal, mungkin maksud sebenarnya dari Susno Duaji dalam penggunaan istilah buaya adalah penggambaran kekuasaan POLRI yang besar dan kuat. Sebaliknya, simpati masyarakat terus bergulir untuk pihak lemah yang dianalogikan dengan hewan Cicak, yaitu KPK. Masyarakat memandang KPK sebagai pihak yang tertindas dan tak berdaya. Pernyatan Susno Duaji secara tidak langsung ternyata malah ‘memenangkan’ si Cicak atau KPK di mata masyarakat.
Para aktivis antikorupsi memaknai cecak dan buaya sebagai pertarungan antara segelintir orang yang cinta pemberantasan korupsi melawan arus besar penggembosan lembaga antikorupsi dan gerakannya. Tafsir itu adalah tafsir kontekstual yang memang sangat berdasar, mengingat banyaknya intervensi yang dilakukan oleh POLRI dan Kejaksaan atas sepak terjang KPK. Berangkat dari kegelisahan itulah, para aktivis, dimulai dari Jakarta, Semarang, dan beberapa kota besar lain, melakukan Deklarasi Cicak (Cinta Indonesia, Cinta KPK).
Beberapa Opini Tokoh Masyarakat
Berikut adalah beberapa opini tokoh masyarakat yang dikutip dari tulisan Effendi Ghozali dalam situs blog-nya:
“Jika tidak cermat ditangani, kasus bibit-chandra bisa menjadi simbol perlawanan rakyat seperti Aung San Suu Kyi (Hikmahanto Juwana)
“Publik terkesan belum melihat pembelaan dari presiden sebagaimana diharapkan” (Anies Bawedan)
“Penahanan bibit-chandra tidak biasa dilepaskan dari pengusutan kasus pencairan dana pada bank Century”  (Gus Dur (Alm) danDin Syamsuddin)
Selanjutnya adalah 2 rekomendasi tim delapan yang dikutip dari tulisan Dr.Wirantaprawira, salah satu aktifis CICAK:
“Proses hukum terhadap bibit-chandra sebaiknya dihentikan karena lemahnya bukti-bukti materil maupun formil dari penyidik”
“Menjatuhkan sanksi kepada pejabat-pejabat yang  bertanggung jawab pada proses hukum yang dipaksakan”
“Cecak dan buaya sebagai pertarungan antara segelintir orang yang cinta pemberantasan korupsi melawan arus besar penggembosan lembaga antikorupsi dan gerakannya” Cinta Indonesia, Cinta KPK dalam deklarasi CICAK
Berikut adalah opini dari komunitas local Yogyakarta baik sebagai pendukung KPK maupun sebagai pendukung POLRI, seperti tertulis pada TEMPO interaktif tanggal 10 November 2009:
“Presiden Susilo Bambang Yuhdoyono dan wakil presiden Boediono mundur jika tidak mencopot Kapolri dan Jaksa Agung yang dinilai telah gagal membersihkan mafia hukum dalam lembaganya, karena Kapolri dan Jaksa Agung telah nyata-nyata gagal membersihkan mafia peradilan” Suki Ratnasari (Humas kelompok AMUK)
“Langkah SBY membentuk Tim Delapan semakin memperkeruh persoalan karena hanya menyudutkan kepolisian dan kejaksaan” La Ode Songko Panatagama (Humas kelompok AMY-KRB)

Dilema Cicak vs Buaya
Pada saat harus menganalisis pihak yang diuntungkan dan yang dirugikan dalam kasus ini, penulis mengalami sedikit hambatan. Apabila dipikirkan secara menyeluruh hanya ada satu pihak yang diuntungkan karena kasus ini, pihak tersebut adalah Anggoro yang sampai saat ini tidak jelas dimana keberadaannya. Pihak POLRI maupun KPK sesungguhnya mengalami kerugian yang sangat besar karena rusaknya citra dari masing-masing lembaga tersebut.
Sangat disayangkan apabila kedua pihak harus berseteru, sebab secara institusional, semestinya pertarungan antara lembaga negara, terutama di bidang penegakan hukum, tidak perlu terjadi. KPK, kepolisian, dan kejaksaan adalah satu kesatuan sistem (integrated criminal justice system) dalam pemberantasan korupsi. Hal itu diatur dalam UU KPK No 30 Tahun 2002 bahwa KPK bisa melakukan koordinasi dan supervisi kepada kepolisian dan kejaksaan dalam penanganan kasus korupsi. Jadi, kasus ini sesungguhnya merupakan aib bagi lembaga-lembaga penegak hukum di Indonesia.
Media juga menjadi pihak diuntungkan secara penyiaran sebab dengan adanya pemberitaan cicak vs buaya memberikan efek yang bagus bagi rating siaran berita baik di TVOne maupun MetroTV, terlepas dari pemilik kedua stasiun TV tersebut merupakan lawan politik SBY.
Masyarakat Indonesia juga mendapatkan ‘keuntungan’, karena dalam sejarah Indonesia baru pada kasus ini terjadi pergerakan besar-besaran melalui opini publik di dunia maya yang berpengaruh pada dunia nyata berupa tindakan presiden sebagai respon reaksi masyarakat. Proses demokrasi terjadi di dunia maya, meskipun demokrasi itu tidak 100% valid, tetapi masyarakat Indonesia telah memiliki kesempatan untuk ikut andil dalam menentukan nasib tokoh masyarakat yaitu bibit-chandra sekaligus nasib sebuah institusi hukum bernama KPK.



[1] Dennis McQuail, Teori Komunikasi Massa (Jakarta:Penerbit Erlangga,1996), hal.75-76