Thursday 30 September 2010

Demokrasi Langsung: Sebuah Ideologi Global dari Pemberdayaan Publik


Demokrasi secara langsung pada hakikatnya hampir mustahil untuk diterapkan pada saat ini. Demokrasi langsung berarti rakyat memerintah dirinya secara langsung, tanpa perantara. Salah satu pendukung demokrasi langsung adalah Jean Jacques Rousseau, di mana Rousseau ini mengemukakan 4 kondisi yang memungkinkan bagi dilaksanakannya demokrasi langsung yaitu :
  • Jumlah warganegara harus kecil.
  • Pemilikan dan kemakmuran harus dibagi secara merata (hampir merata).
  • Masyarakat harus homogen (sama) secara budaya.
  • Terpenuhi di dalam masyarakat kecil yang bermata pencaharian pertanian.
Pertanyaan kemudian adalah: Mungkinkan keadaan yang digambarkan Rousseau itu ada di era negara modern saat ini? Jumlah warganegara negara-negara di dunia rata-rata berada di atas jumlah 1-2 juta jiwa, pemilikan harta sama sekali tidak merata, secara budaya masyarakat relatif heterogen (beragam) yang ditambah dengan infiltrasi budaya asing, dan pencaharian penduduk dunia tengah beralih dari pertanian ke industri. Masih mungkinkah demokrasi langsung dilaksanakan?
Di dalam demokrasi langsung, memang kedaulatan rakyat lebih terpelihara oleh sebab kekuasaannya tidak diwakilkan. Semua warganegara ikut terlibat di dalam proses pengambilan keputusan, tanpa ada yang tidak ikut serta. Namun, di zaman pelaksanaan demokrasi langsung sendiri, yaitu di masa negara-kota Yunani Kuno, ada beberapa kelompok masyarakat yang tidak diizinkan untuk ikut serta di dalam proses demokrasi langsung yaitu: budak, perempuan, dan orang asing.
Dengan alasan kelemahan demokrasi langsung, terutama oleh ketidakrealistisannya untuk diberlakukan dalam keadaan negara modern, maka demokrasi yang saat ini dikembangkan adalah demokrasi perwakilan. Di dalam demokrasi perwakilan, tetap rakyat yang memerintah. Namun, itu bukan berarti seluruh rakyat berbondong-bondong datang ke parlemen atau istana negara untuk memerintah atau membuat UU.
Rakyat terlibat secara ‘total’ di dalam mekanisme pemilihan pejabat (utamanya anggota parlemen) lewat Pemilihan Umum periodik (misal: 4 atau 5 tahun sekali). Dengan memilih si anggota parlemen, rakyat tetap berkuasa untuk membuat UU, akan tetapi keterlibatan tersebut melalui si wakil. Wakil ini adalah orang yang mendapat delegasi wewenang dari rakyat. Di Indonesia, 1 orang wakil rakyat (anggota parlemen) kira-kira mewakili 300.000 orang pemilih.
Dengan demokrasi perwakilan, rakyat tidak terlibat secara penuh di dalam membuat UU negara. Misalnya saja, dari hampir 200 juta jiwa warganegara Indonesia, proses pemerintahan demokrasi di tingkat parlemen hanya dilakukan oleh 500 orang wakil rakyat yang duduk menjadi anggota DPR. Bandingkan apabila Indonesia menerapkan demokrasi langsung di mana 200 juta rakyat Indonesia duduk di parlemen. Hasilnya pasti akan kacau memakan biaya mahal. Dengan kenyataan ini maka demokrasi perwakilan lebih praktis ketimbang demokrasi langsung.
Kembali ke pertanyaan awal berdasarkan kepercayaan Rousseau, dapatkah demokrasi langsung dilaksanakan? Pada tahun 1990-an istilah ‘Information Superhighway’ santer terdengar di media cetak dan berita. Media memberitakan betapa cepat dan tak terbatas informasi yang dibawa oleh media jenis baru ini. Saat ini media ini dikenal dengan sebutan internet. Sebelum melangkah jauh pada tulisan ini penulis meyakini bahwa pada saat Carveth, Owers dan Alexander menulis The Economics of Online Media, koneksi internet melalui wireless fired (wi-fi) belum ditemukan sehingga mereka hanya menyebut internet sebagai cable industry. Saat ini, lebih dari 10 tahun sejak tulisan The Economics of Online Media dibuat, begitu cepat dan banyaknya perubahan yang terjadi pada media online atau new media ini.
Perkembangan dunia Online juga terbagi atas tiga tahap. Tahap pertama adalah penemuan jejaring online tersebut, para penemunya disebut dengan ‘the Pioneers’. Sebagian besar dari mereka adalah ilmuwan dan teknisi yang prihatin dengan dengan kebutuhan di bidang pertahanan Negara. Tidak heran jika lahirnya internet, yang diawali dengan lahirnya intranet terjadi di pusat pertahanan terbesar di Amerika Serikat, yaitu di gedung Pentagon. Ide awal dari internet adalah intranet, dimana sebuah komputer dapat terkoneksi dengan komputer yang lain, sehingga dimungkinkan adanya file transfer atau pertukaran data dan informasi. Proyek besar ini didukung oleh ARPA (Advanced Research Projects Agency), sebuah lembaga pemerintah AS yang menangani riset berskala besar.
Tahap kedua adalah hadirnya ’the settlers’, yaitu para akademisi dan ilmuwan yang menggunakan teknologi ini untuk berbagi sumber, seperti pada file transfer dan berkomunikasi satu dengan yang lain. Tujuan utama dari ’the settlers’ yaitu untuk dapat berkomunikasi dengan sesama ’Cybernauts’ atau ’penggila online’ yaitu mereka yang tertarik untuk membangun komunitas di dunia maya. Mungkin ’the settlers’ inilah yang membuat Facebook menjadi jejaring sosial terbesar saat ini.   
Tahap ketiga adalah hadirnya ’people of capital’. Setelah ditolak selama 10 tahun, yaitu dari tahun 1980, pada tahun 1990 mereka kembali untuk memperoleh keuntungan melalui dunia maya. Caranya adalah dengan menggunakan videotex (teks yang ditransmisikan secara online) dan ditampilkan pada layar komputer (Major, 1990). Akan tetapi, konsumen mulai memanfaatkan videotex ini secara meluas pada tahun 1994.
Internet ada di balik keberhasilan pemilihan umum para pemimpin negara di dunia. SBY memanfaatkan internet sebagai salah satu alat sosialisasi dan  kampanye. Amerika memiliki sejarah yang lebih fantastis dalam kampanye pemilihan presiden. Jika dahulu Franklin Delano Roosevelt menggunakan radio dan John F Kennedy memanfaatkan televisi untuk menggapai kemenangan. Kini Barack Obama menggunakan internet sebagai media sosial, menyapa masyarakat akar rumput melalui teknologi komunikasi yang berkembang amat pesat.
Barack Obama menoreh sejarah dengan memanfaatkan internet untuk menjaring pendukung dalam kampanye-kampanyenya dan mengumpulkan dana secara online. Barack Obama memiliki situs-situs jejaring sosial yang populer tidak hanya di Amerika Serikat, tetapi juga di banyak negara di dunia, mulai dari Facebook, My Space, Linkedin, You Tube, Friendster, hingga Twitter.
Obama, seorang senator dari Illinois, mampu mengalahkan Hillary Clinton, Senator New York, saat konvensi Partai Demokrat. Kini dia menang atas John McCain dari Partai Republik dalam pemilihan 4 November. Saat pertarungannya dengan Hillary, Obama mengantongi dana 38 juta dollar AS selama kampanye dan hanya berutang 2 juta dollar AS. Adapun Hillary hanya memperoleh 6 juta dollar AS dan utangnya untuk kampanye membengkak 21 juta dollar AS. Obama memanfaatkan internet untuk memperoleh sumbangan dana kampanye lewat online hanya 5 dollar AS per orang, tetapi disumbang oleh jutaan orang. Hillary masih menggunakan pola lama berkampanye, termasuk mencari dana. Hillary melupakan faktor kunci dalam dunia baru politik di AS, yaitu jejaring sosial. Ibaratnya, Hillary masih menggunakan AOL, Obama sudah memanfaatkan jejaring sosial Facebook. Hillary masih PC, Obama sudah sebuah Mac. (www.kompas.co.id, 6 November 2008)
Internet telah menjadi gaya hidup masyarakat jaman sekarang. Penulis menghitung kira-kira dalam sehari seseorang mengakses situs facebook miliknya sebanyak 5-10 kali. Teknologi Smartphone mendukung akses internet di mana pun dan kapan pun. Apabila diamati pelaku usaha internet juga tidak jauh berbeda dari 10 tahun lalu, ketika 10 tahun lalu AT&T ikut ambil bagian dalam sejarah videotex di Amerika Serikat, saat ini sebagian produknya telah merajai pasar internasional. Produk berupa smartphone yang dinamakan Blackberry itu telah dikenal oleh masyarakat luas dan menjadi salah satu gadget andalan untuk akses internet.
Pemaparan mengenai internet diatas telah memberikan sebuah gambaran jawaban atas kemungkinan dilaksanakannya demokrasi langsung. Teknologi internet ini memungkinkan terwujudnya demokrasi langsung. Indonesia merupakan salah satu negara yang berpenduduk besar dengan tingkat konsumsi internet yang rendah. Dikatakan rendah karena bila dibandingkan rasio penggunaan internet oleh penduduk Indonesia yang sekitar 20 juta orang dengan jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 200 juta orang lebih, maka perbandingannya hanya sekitar 10 %. Tentu hal ini merupakan hal yang potensial bagi industri komunikasi untuk menggarap wilayah Indonesia agar lebih banyak lagi menggunakan internet nantinya. Lagipula pemerintah Indonesia sudah getol untuk mengenalkan internet hingga ke pelosok-pelosok desa dengan harapan informasi dari pusat ke daerah bisa sampai dengan cepat. Sehingga, pertumbuhan dan pembangunan masyarakat desa bisa lebih cepat terjadi. Ini cita-cita yang harus diapresiasi tentunya.   
Indonesia tampaknya tidak main-main dengan rencana ini. Pemerintah sudah mengeluarkan program agar semua desa bisa dijangkau internet. Program ini sendiri bertajuk program “desa pinter” atau desa pakai internet. Program “desa pinter” mulai dicanangkan sejak Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I, tepatnya pada saat M. Nuh menjabat sebagai Menkominfo. Program Kerja Desa Pinter bertujuan untuk membangun seluruh desa di Indonesia yang mampu mengakses informasi. Rencananya, program ini akan mencakup 5.738 desa dimana masing-masing 1 desa memiliki 1 komputer. Dana awal yang dianggarkan untuk Desa Pinter adalah sebesar 1,4 triliun.
Program ini merupakan proyek jangka panjang dimana SBY mencanangkan tahun 2010, seluruh desa terhubung dengan infrastruktur telepon dan internet.(+/- 62.000 desa dan 5.000 kecamatan seluruh Indonesia). M.Nuh mengklaim sudah berjalan sebesar 50 persen lebih  (lebih dari 31.000 desa) namun belum menjangkau wilayah Indonesia Timur.
Program “desa pinter” ini kemudian dilanjutkan oleh Menkominfo Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, Tifatul Sembiring. Beliau mencanangkan program 100 hari, dimana  direncanakan 100 desa menjadi prioritas masuknya komputer dan 25.000 desa terhubung saluran telepon. Rencana anggaran program 100 hari ini pada tahun pertama yaitu sebesar 370,5 miliar. Sebagai langkah awal akan dilaksanakan beberapa program pendukung yaitu pembangunan USO (Universal Service Obligation), Community Access Point, dan pembangunan proyek Palapa Ring.
Proyek USO bertujuan untuk mengurangi kesenjangan akses telekomunikasi di daerah-daerah, termasuk daerah terpencil, dan telah diluncurkan program penyediaan layanan fasilitas telelomunikasi untuk 31.824 SST di tingkat perdesaan, dengan target pencapaian seluruh desa dapat berdering pada tahun 2010.
Community Access Point merupakan pembentukan sentra-sentra layanan informasi masyarakat di seluruh wilayah Indonesia dengan penyediaan teknologi informasi dan infrastruktur di berbagai pelosok tanah air melalui pembangunan dan pengembangan. Proyek pembangunan yang terakhir, Palapa Ring merupakan program pemerintah membangun jaringan serat optik internasional yang terdiri atas 7 cincin untuk meningkatkan dan memeratakan ketersediaan infrastruktur telekomunikasi sehingga melingkupi 33 ibukota propinsi dan 460 kabupaten/440 kabupaten kota di seluruh Indonesia termasuk wilayah timur. (sudah ditandatangani SBY tanggal 30 November 2009 lalu).
Program desa Pinter ini bertujuan untuk mengurangi jurang perbedaan antara kota dan desa akan ketersediaan informasi. Hal ini berkaitan dengan information literacy (melek informasi). Selama ini harus diakui ada jurang atau gap informasi yang diterima antara masyarakat desa dengan perkotaan. Maka, ada keyakinan dari pemerintah bahwa pembangunan bisa dipercepat salah satunya dengan ketersediaan informasi. Informasi bisa bermacam-macam tentunya mulai tentang apa saja yang sudah terjadi di sekitar masyarakat pedesaan maupun kota-kota besar seperti perubahan politik, ekonomi, permasalahan sosial budaya, hingga informasi yang tidak penting bagi masyarakat seperti gossip dan infotainment.  Ketersediaan informasi bisa menjadi stimulan bagi masyarakat pedesaan misalnya untuk mulai berfikir bahwa keadaan terus berubah sehingga mau tidak mau mendorong mereka juga untuk berfikir lebih maju (namun bukan berarti pula berfikir seperti orang kota). Misalnya, agar mereka mengerti dengan hak-haknya sebagai warga negara untuk mendapatkan fasilitas, jaminan kesehatan, hak mereka untuk berpartisipasi dalam politik, dll yang mungkinselama ini tidak mereka sadari.
Ketersediaan Informasi di masyarakat selama ini terkendala banyak hal terutama oleh sarana dan fasilitas. Belum adanya saluran komunikasi seperti telepon sering terkendala karena jaringan telepon belum terpasang, belum banyaknya kantor-kantor yang memiliki fasilitas internet di pedesaan terkendala dengan listrik yang masih minim. Selama ini fasilitas komunikasi di pedesaan terkadang masih bergantung pada koran masuk desa, televisi, atau bahakan yang lebih parah lagi masih melalui masjid untuk daerah yang terpencil. Tentunya fasilitas- fasilitas komunikasi ini juga harus mepertimbangkan fasilitas-fasilitas penunjang lainnya seperti listrik, transportasi, dll.
         Masuknya teknologi harus membawa kemanfaatan salah satunya memberdayakan masyarakat. Masyarakat harus mampu mulai dari memikirkan dan menterjemahkan apa yang menjadi kebutuhannya hingga berdaya untuk mengusahakan terpenuhinya kebutuhan tersebut. Keadaan masyarakat pedesaan Indonesia saat ini masih belum merata dan beragam. Sebagian masyarakat pedesaan mungkin sudah ada yang mampu menemukan apa yang menjadi kebutuhan dirinya dan  bersama  sehingga mampu pula bersuara untuk menyampaikan kepada pihak yang terkait (dalam hal ini pemerintah daerah) untuk dipenuhinya kebutuhan tersebut atau secara swadaya memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Terkadang masih sulit untuk menterjemahkan kebutuhannya termasuk sulit untuk mengusahakan terpenuhinya kebutuhan tersebut. Diharapkan dengan adanya fasilitas teknologi internet ini, masyarakat berdaya untuk menterjemahkan kebutuhannya dan mengusahakan terpenuhinya kebutuhan tersebut. Tapi masih sulit tentunya untuk melihat secara riil bagaimana pemberdayaan yang nanti bisa terwujud bila internet masuk desa ini sudah terlaksana seluruhnya. Apakah seperti yang sudah disebutkan di awal yaitu  petani di pedesaan memasarkan padinya lewat email atau nelayan memasang foto ikan hasil tangkapannya untuk dijual melalui account facebooknya. . Bahkan, transaksi pun mungkin tidak lagi berupa pembayaran tunai melainkan transfer melalui telepon seluler dengan fasilitas e-banking.
Selain dari esensi pentingnya program ini ada kesulitan lain yang biasa menjadi kesulitan dalam pelaksanaan program-program pemerintah. Kesulitan tersebut adalah buruknya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, berkaitan internet masuk desa salah satunya di Riau dimana masih ada daerah yang tidak memiliki jaringan. Hal lain yang penting untuk diperhatikan adalah sosialisasi penggunaan baru dilakukan setelah infrastruktur dibangun secara merata. Sosialisasi sering menjadi permasalahan karena pusat dan daerah tidak berkoordinasi. Pusat sering memberikan kebijakan kepada daerah tanpa diikuti petunjuk-petunjuk pelaksanaan dari pusat. Memang sebagai konsekuensi desentralisasi, daerah memiliki hak untuk mengatur permasalahan di daerah. Namun tetap diperlukan sosialisasi terlebih dahulu kepada daerah dan masyarakat luas bahwa ada program tertentu yang tujuannya tertentu pula. Sehingga pusat pun bisa mengetahui mengenai potensi didaerah dan masalah daerah masing-masing.  Apalagi, pengawasan pun rencananya akan diserahkan ke desa masing-masing (self regulating). Perlu ada pemantauan yang berkala mengenai efektifitas program ini kedepannya bila sudah benar-benar terlaksana. 
            Bagaimana dengan demokrasi langsung? Tentu saja mungkin untuk terwujud apabila pemerintah benar-benar berkomitmen dalam program ini. Internet adalah sarana penunjang yang cukup tepat untuk membangun e-government atau pemerintahan secara elektronis (internet). Melalui situs e-government, pemerintah dapat merangkul masyarakat yang majemuk. Demikian pula masyarakat dapat berkomunikasi langsung dengan pemerintah. Apabila situs-situs pemerintah yang sudah ada saat ini dimanfaatkan secara maksimal, tidak mustahil demokrasi langsung dapat terwujud. Jangan hanya menggunakan internet untuk berkampanye saja, tapi manfaatkanlah internet untuk memahami, melayani dan memberdayakan masyarakat.

No comments:

Post a Comment