Wednesday 29 September 2010

Fashiontribe: Sebuah Suku Baru Bagi Penikmat Fashion Studi Kasus: Fashiontribe di Jejaring Sosial (Facebook)

Penelusuran kata ‘fashion’ dengan menggunakan mesin pencari Google memberikan 970.000.000 hasil. Sebuah angka yang cukup fantastis jika dibandingkan dengan kata ‘religion’ dengan hasil 1.140.000.000. Apakah fashion kini telah menjadi ‘agama’ bagi pencintanya? Jawabannya tergantung seberapa penting dan seberapa besar pengaruh fashion dalam hidup pencintanya. Saya sendiri adalah salah satu dari pencinta fashion, fashion memang identik dengan kaum hawa dan gay, sebagai contoh sebagian besar perancang ternama dunia adalah kaum gay.

Serial Sex and The City, yang versi kedua dari layar lebarnya baru-baru ini ditayangkan di bioskop. Menceritakan tentang persahabatan empat wanita yang merintis karir di kota metropolitan New York, dan setelah mereka berhasil, segera saja merk-merk ternama tercantum di label pakaian, tas dan sepatu yang mereka kenakan. Sebut saja Prada, Chanel, Manolo Blahnik, dan masih banyak lagi.
Tren fashiontribe saat ini telah merambat ke daerah non-metropolitan, bahkan memasuki suatu ruang baru dalam ranah jejaring sosial, seperti facebook contohnya. Bila kita mengakses halaman FB (facebook), di sisi sebelah kanan selalu ada iklan mengenai produk-produk tertentu, diantaranya produk fashion, hebatnya lagi para pencinta fashion tergabung dalam suatu grup atau komunitas yang notabene ditujukan untuk berjualan produk fashion.

Fashiontribe merupakan salah satu bagian dari neo-tribe, yang terbentuk salah satunya karena adanya kebutuhan serta kecintaan akan sesuatu. Menurut Simmons (2008), ada pergeseran pada masa post-modernisme, dimana orang cenderung untuk membuat ikatan sosial. Komunitas ini kemudian terorganisir menjadi semacam jejaring suku baru, jejaring ini bertujuan untuk mengumpulkan orang-orang yang memiliki kesamaan untuk berinteraksi secara sosial, dan seringkali berkisar mengenai konsumsi dan brand.

Menurut Cova dan Cova (2002), perbedaan utama antara komunitas brand dan neo-tribes adalah komunitas brand dibangun untuk menangani relasi antara produsen dan konsumen, sementara neo-tribes adalah relasi antara para konsumen. Media sosial dapat dipandang sebagai saluran dan alat yang penting untuk melakukan interaksi, pengaturan serta memungkinkan adanya komunitas brand, sebagai bukti, 49 persen orang melakukan pembelanjaan berdasarkan rekomendasi dari teman melalui media sosial (Razorfish, 2008).

Bila dulu pembelanjaan melalui media televisi misalnya DRTV sangat populer, kini orang mulai menikmati pembelanjaan lewat jejaring sosial. Caranya begitu mudah, kita bisa bergabung menjadi anggota (teman) dari komunitas tertentu (dalam hal ini adalah fashion), dan setiap bulannya kita akan di-‘tagged’ untuk gambar/katalog produk baru. Apabila kita ingin melihat-lihat atau melakukan pembelanjaan, kita tinggal mengakses halaman katalog tersebut, memilih barang, kemudian melakukan pemesanan melalui sms. Kita juga bisa berinteraksi dengan produsen atau konsumen (sesama anggota) lain dengan menambahkan komentar di kolom yang telah disediakan. Sungguh merupakan pengalaman belanja yang mudah dan menyenangkan bukan? Orang tidak perlu meninggalkan kamar tidurnya untuk melakukan transaksi dan berinteraksi dangan anggota lain.

Hal ini dipandang sebagai keuntungan dari perspektif pemasaran, meskipun neo-tribes dan komunitas brand adalah dua hal yang berbeda, tapi mereka memiliki kesamaan dalam hal tertentu dan tidak jarang berkaitan satu dengan yang lain. Disadari atau tidak, komunitas seperti ini merupakan senjata yang ampuh untuk mambangun loyalitas dan kepercayaan konsumen kepada produsen, dan sepertinya kekuatan brand community dan neo-tribe saat ini sudah sangat disadari oleh para pencipta dan penjual produk, terbukti dari banyaknya iklan, grup atau permintaan teman dari bermacam produk yang bertebaran setiap kali kita mengakses halaman facebook. Apakah pengalaman baru seperti ini benar-benar membuat nyaman dan memudahkan? Atau akan berakhir menjadi salah satu bentuk lain cybercrime? Dan bahkan kemungkinan besar justru malah menjadi pengganggu seperti pengalaman tahun 1990an dimana email advertising begitu mengganggu seperti virus yang berakhir pada kotak spam.

No comments:

Post a Comment